Selasa, 19 Februari 2013

Tauhid sebagai dimensi metodologi


Sebagai intisari peradaban Islam, tauhid mempunyai dua segi atau dimensi : segi metodologis dan konseptual. Yang pertama menentukan bentuk penerapan dan implementasi prinsip pertama peradaban ; yang kedua menentukan prinsip pertama itu sendiri.
Dimensi Metodologis
Dimensi metodologis meliputi tiga prinsip; yaitu kesatuan, rasionalisme, dan toleransi. Ketiganya ini menentukan bentuk peradaban Islam.
Kesatuan. Tak ada peradaban tanpa kesatuan. Jika unsur-unsur peradaban tidak bersatu, berjalin , dan selaras satu dengan lainnya, maka unsur-unsur itu bukan membentuk peradaban, melainkan himpunan campur-aduk. Prinsip menyatukan berbagai unsur dan memasukkan unsur-unsur itu di dalam kerangkanya sangat penting. Prinsip seperti ini akan mengubah campuran hubungan unsur-unsur satu dengan lainnya menjadi bangunan rapi dimana tingkat prioritas atau derajat kepentingan dapat dirasakan. Peradaban Islam menempatkan unsur-unsur dalam bangunan rapi dan mengatur eksistensi serta hubungannya berdasarkan pola yang seragam. Unsur-unsur itu sendiri ada yangasli dan ada yang berasal dari luar. Tidak ada peradaban yang tidak mengambil unsur dari luar. Yang penting adalah bahwa peradaban mencerna unsur itu, yaitu mempola kembali bentuk dan hubungannya sehingga menyatu ke dalam sistemnya sendiri. “Membentuk” unsur itu dengan bentuknya sendiri sebenarnya mengubahnya menjadi realitas baru sehingga unsur itu tak lagi eksis sebagai unsur itu sendiri, namun sebagai komponen integral peradaban baru. Ini bukanlah argumen menentang peradaban bila peradaban itu semata-mata hanya menambah unsur-unsur asing. Atau bila peradaban melakukannya dengan cara terpotong-potong, tanpa pembentukan ulang, penambahan, atau integrasi. Persisny, unsur-unsur ini semata-mata ada bersama (co-exist) dengan peradaban. Secara organis, unsur-unsur itu bukan bagian dari peradaban itu. Namun jika peradaban ini telah berhasil mengubah mereka dan mengintegrasikannya ke dalam sistemnya, maka proses integrasi menjadi indeks vitalitas, dinamisme dan kreativitasnya. Dalam setiap peradaban integral, dan tentu saja dalam Islam, unsur-unsur pembentuknya, baik unsur material, struktural atau relasional, semuanya diikat oleh satu prinsip utama. Dalam peradaban Islam, prinsip utama ini adalah tauhid. Inilah tongkat pengukur utama orang Islam, pembimbing dan pencarinya dalam berhadapan dengan agama dan peradaban lain, dengan fakta atau situasi baru. Yang sejalan dengan prinsip ini diterima dan diintegrasikan. Yang tidak sejalan ditolak atau dikutuk.
Tauhid atau doktrin keesaan, transenden, dan doktrin keutamaan Tuhan, mengandung arti bahwa hanya Dia yang patut disembah dan dilayani. Orang yang taat akan hidup berdasarkan prinsip ini. Dia akan berupaya menyelaraskan perbuatannya dengan pola ini, melaksanakan maksud Ilahiah. Karena itu, kehidupannya harus menunjukkan kesatuan pikiran dan kehendaknya, tujuan utama pengabdiannya. Kehidupannya tak akan merupakan serangkaian peristiwa yang disatukan dengan kacau balau. Tetapi, kehidupannya akan dihubungkan dengan satu prinsip utama, diikat oleh kerangka tunggal yang menyatukan mereka menjadi kesatuan tunggal. Dengan demikian, kehidupannya memiliki gaya tunggal, bentuk yang integral – singkatnya Islam.
Rasionalisme. Sebagai prinsip metodologis, rasionalisme membentuk intisari peradaban Islam. Rasionalisme terdiri atas tiga aturan atau hukum : pertama, menolak semua yang tidak berkaitan dengan realitas; kedua, menafikan hal-hal yang sangat bertentangan; ketiga, terbuka terhadap bukti baru dan/ atau berlawanan. Hukum pertama melindungi seorang muslim dari membuat pernyataan yang tidak terujji, tidak jelas terhadap ilmu pengetahuan.Pernyataan yang kabur, menurut Al-Qur’an, merupakan contoh zhann (pengetahuan yang menipu) dan dilarang oleh Tuhan, sekalipun tujuannya dapat diabaikan. Seorang muslim dapat didefinisikan sebagai orang yang pernyataannya hanyalah kebenaran. Hukum kedua melindunginya dari kontradiksi di satu pihak, dan paradoks di pihak lain.
Rasionalisme bukan berarti pengutamaan akal atas wahyu tetapi penolakan terhadap kontradiksi puncak antara keduanya.
Rasionalisme mempelajari tesis-tesis yang bertentangan berulang-ulang, dengan anggapan bahwa pasti ada segi pemikiran yang terlewat yang jika dipertimbangkan akan mengungkapkan hubungan yang bertentangan. Rasionalisme juga menggiring pembaca wahyu- bukan wahyu itu sendiri – kepada bacaan lain. Bila dia menangkap makna yang tak jelas yang kemudian dipikirkannya kembali, maka akan menghapus kontradiksi yang tampak. Perujukan pada akal atau pemahaman demikian akan memiliki pengaruh penyelarasan bukan wahyu itu sendiri – wahyu tak dapat dimanipulasi manusia – tetapi penafsiran atau pemahamann insani seorang muslim akan wahyu. Ini menjadikan pemahamannya akan wahyu sejalan dengan bukti kumulatif yang disingkapkan akal. Penerimaan terhadap sesuatu yang bertentangan atau paradoks sebagai suatu kebenaran hanya menarik orang-orang berpandangan picik. Muslim yang cerdas adalah seorang rasionalis karena dia menegaskan kesatuan dua sumber kebenaran yaitu wahyu dan akal.
Hukum ketiga, keterbukaan terhadap bukti baru atau yang bertentangan, melindungi seorang muslim dari literalisme, fanatisme, dan konservatisme yang menyebabkan stagnasi. Hukum ketiga ini mencontohkan dia kepada kerendahan hati intelektual. Memaksanya menambahkan pada penegasan dan penyangkalannya ungkapan “Allahu a’lam” (Allah yang lebih tahu). Karena dia yakin bahwa kebenaran lebih besar daripada yang dapat dikuasainya.
Sebagai penegasan akan keesaan mutlak Tuhan, tauhid merupakan penegasan keesaan kebenaran. Karena Tuhan, dalam Islam adalah kebenaran. Keesaan-Nya merupakan keesaan sumber-sumber kebenaran. Tuhan adalah Pencipta alam dari mana manusia mendapat pengetahuannya. Tujuan pengetahuan adalah pola-pola alam yang merupakan karya Tuhan. Jelas Tuhan mengetahui semuanya karena Dialah penciptanya; dan Dialah sumber wahyu. Dia memberi manusia pengetahuan-Nya; dan pengetahuan-Nya mutlak dan universal. Tuhan tidak menipu, tidak dengki, tidak menyesatkan. Dia juga tidak mengubah keputusan-Nya seperti yang dilakukan manusia ketika membetulkan pengetahuan-Nya, kehendaknya, atau keputusannya. Tuhan adalah sempurna dan maha tahu. Dia tak pernah salah. Kalau pernah, Dia tidak akan menjadi Tuhan trasenden agama Islam.

Toleransi. Sebagai prinsip metodologis, toleransi adalah penerimaan terhadap yang tampak sampai kepalsuannya tersingkap. Dengan demikian toleransi relevan dengan epistemologi. Ia juga relevan dengan etika sebagai prinsip menerima apa yang dikehendaki sampai ketaklayakannya tersingkap. Yang pertama disebut sa’ah; yang kedua yusr. Keduanya melindungi seorang muslim dari menutup diri terhadap dunia dari konservatisme. Keduanya mendesaknya untuk menegaskan dan mengatakannya terhadap kehidupan, terhadap pengalaman baru. Keduanya mendorongnya untuk menyampaikan data baru dengan pikirannya yang tajam, usaha konstruktifnya. Dan dengan demikian memperkaya pengalaman dan kehidupannya, dan selalau memajukan budaya dan peradabannya.
Sebagai prinsip metodologis di dalam intisari peradaban Islam, toleransi adalah keyakinan bahwa Tuhan tidak membiarkan umat-Nya tanpa mengutus rasul dari mereka sendiri. Rasul yang akan mengajarkan bahwa tak ada Tuhan kecuali Allah, dan bahwa mereka patut menyembah dan mengabdi kepada-Nya, untuk memperingatkan mereka bahaya kejahatan dan penyebabnya. Dalam hubungan ini, toleransi adalah kepastian bahwa semua manusia dikaruniai sensus communis, yang membuat manusia dapat mengetahui agama yang benar, mengetahui kehendak dan perintah Tuhannya. Toleransi adalah keyakinan bahwa keanekaragaman agama terjadi karena sejarah dengan semua faktor yang mempengaruhinya, kondisi ruang dan waktunya yang berbeda, prasangka, keinginan, dan kepentingannya. Di balik keanekaragaman agama berdiri al-din al-hanif, agama fitrah Allah, yang mana manusia lahir bersamanya sebelum akulturasi membuat manusia menganut agama ini atau itu. Toleransi menuntut seorang Muslim untuk mempelajari sejarah agama-agama. Tujuannya untuk menemukan di dalam setiap agama karunia awal Tuhan, yang diajarkan oleh rasul-rasul yang diutus-Nya di segenap tempat dan waktu.
Dalam agama-dan hampir tak ada yang lebih penting dalam hubungan manusia-toleransi mengubah konfrontasi dan saling kutuk antar agama menjadi kerjasama penelitian ilmiah tentang asal-usul dan perkembangan agama. Tujuannya memisahkan penambahan historis dari wahyu awal yang diterima. Dalam etika, semua bidang penting berikutnya, yusr; mengebalkan seorang Muslim dari kecenderungan menolak kehidupan. Yusr membuatnya memiliki optimisme yang diperlukan untuk menjaga kesehatan, keseimbangan, dan kebersamaan, meski kehidupan manusia ditimpa berbagai tragedy dan penderitaan. Tuhan menjamin makhluk-Nya bahwa “dengan kesulitan, Kami menetapkan kemudahan [yusr]”. Dan karena Dia memerintahkan mereka untuk menguji setiap pernyataan dan memastikannya sebelum menilai, maka kaum ushuli (ahli fiqih) melakukan eksperimentasi sebelum menilai kebaikan atau keburukannya, yang tidak bertentangan dengan perintah Ilahiah yang pasti.
Sa’ah dan yusr langsung berasal dari tauhid sebagai prinsip metafisika etika. Tuhan, yang menciptakan manusia agar manusia dapat membuktikan dirinya berguna, telah membuatnya bebas dan mampu bertindak positif di dunia. Menurut Islam, melaksanakan hal itu adalah maksud eksistensi manusia di bumi.

0 comments:

Posting Komentar