Selasa, 15 Januari 2013

JUAL BELI YANG DIHARAMKAN




Sebagai makhluk sosial manusia tidak akan bisa memenuhi semua kebutuhan hidupnya seorang diri. Dia membutuhkan pihak lain untuk memenuhi kebutuhan pangan maupun sandangnya. Ini berarti, diperlukan sistem agar seseorang bisa mendapatkan sesuatu yang dibutuhkannya dari orang lain dengan tanpa merugikan siapapun. Dalam Islam ada beberapa transaksi yang bisa dilakukan untuk keperluan pemenuhan kebutuhan manusia, di antaranya adalah jual-beli, pinjam-meminjam, sewa-menyewa dan gadai. Masing-masing transaksi ini memiliki syarat dan ketentuan tertentu yang disimpulkan (dirumuskan) oleh para Ulama dari berbagai nash (rujukan) yang menjelaskan tentang hal itu, baik dari al-Qur’ân, Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ataupun praktek para Sahabat Radhiyallahu anhum.

Dalam edisi ini, fokus pembicaraan kita adalah masalah jual-beli yang diharamkan. Hukum jual beli yang semula mubâh (boleh) ini bisa berubah menjadi haram, jika salah satu di antara syarat sah jual beli tidak ada atau karena kondisi tertentu saat akad jual beli itu berlangsung.

SYARAT JUAL-BELI
Syarat-syarat keabsahan jual-beli meliputi syarat pelaku akad dan syarat barang.
Pertama, Syarat orang yang melakukan akad jual-beli :

1. Keduanya sama-sama ridha, tidak ada unsur paksaan. Jika salah satu di antara mereka terpaksa, maka akad jual-beli itu tidak sah. Allah Azza wa Jalla berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. [an-Nisâ’/4:29]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ

Jual beli itu hanya bisa jika didasari dengan keridhaan masing-masing [HR. Ibnu Hibbân, Ibnu Mâjah dan yang lain] [1]

Kecuali jika alasan pemaksaan itu bisa dibenarkan. Misalkan, seorang hakim yang memaksa orang yang memiliki tanggungan hutang untuk menjual barang-barang yang dia miliki untuk melunasi hutangnya. Maka ini diperbolehkan

2. Orang yang melakukan akad jual-beli itu adalah orang yang berwenang (berhak) melakukannya menurut syariat Islam. Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn rahimahullah menjelaskan bahwa seseorang disebut berwenang jika dia memiliki empat sifat yaitu merdeka, baligh, berakal sehat dan rasyîd.[2] Berdasarkan ini, maka akad yang dilakukan oleh orang yang tidak memenuhi kriteria ini dinyatakan tidak sah.

Bagaimana dengan akad jual beli yang dilakukan oleh anak kecil
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn rahimahullah, mengatakan : “Transaksi yang dilakukan oleh orang pandir dan anak kecil itu tidak sah tanpa idzin walinya, meskipun dia sudah remaja, berusia 14 tahun, cerdas dan bagus dalam jual-beli.” Beliau rahimahullah berdalil dengan firman Allah Azza wa Jalla :

وَابْتَلُوا الْيَتَامَىٰ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ

Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. [an-Nisâ’/4:6] [3]

Dalam kitab Shahih Fiqih Sunnah, ketika menjelaskan hukum akad yang dilakukan anak kecil, penulis membedakan antara akad yang dilakukan anak kecil yang sudah mumayyiz (mampu membedakan) dan yang belum mumayyiz. Anak yang belum mumayyiz, jika melakukan akad jual-beli maka akadnya tidak sah. Sedangkan untuk yang sudah mumayyiz, para Ulama’ berbeda pendapat :

Pertama : Jual beli yang dilakukannya tidak sah, baik dengan idzin wali apalagi tanpa idzin. Ini merupakan pendapat syâfi’iyyah juga dibawakan oleh Abu Tsaur rahimahullah

Kedua : Jika wali memberikan idzin, maka akad jual-belinya sah. Pendapat ini dipegang oleh Imam Ahmad, Ishâq, Abu Hanîfah, ats-Tsauriy. Sementara Ibnul Mundzir rahimahullah mengaitkan pendapat Imam Ahmad dan Ishâq dengan barang-barang yang kecil saja.

Ketiga : Boleh meskipun tanpa idzin. Ini adalah riwayat dari Abu Hanifah.

Kemudian penulis mengatakan bahwa pendapat yang râjih tentang hukum transaksi yang dilakukan oleh anak kecil yang sudah mumayyiz yaitu tidak sah. Lalu penulis membawakan dalil yang sama dengan dalil yang dibawakan oleh Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn rahimahullah. Kemudian penulis menutup pembicaraan tentang ini dengan menukilkan perkataan Imam asy-Syaukâni rahimahullah dalam As-Sailul Jarâr : “Namun jika anak kecil itu memiliki wali dan walinya mengidzinkan dia untuk melakukan transaksi, maka idzin wali inilah yang dianggap bukan sekedar transaksi ini. Allah Azza wa Jalla telah memerintahkan para wali untuk menuliskan atas nama dia dan Allah Azza wa Jalla mengalihkan transaksi yang dilakukan anak kecil ke walinya. Allah Azza wa Jalla berfirman.

فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ

Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mendiktekannya, maka hendaklah walinya mendiktekannya dengan jujur. [al-Baqarah/2:282]

3. Pemilik atau sebagai wakil dari pemilik. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Hakim bin Hizam Radhiyallahu anhu :

لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

Janganlah engkau menjual sesuatu yang bukan milikmu [HR Ahmad, 3/402, 434; Abu Dâwud no. 3503; an-Nasâ’i, 7/289; at-Tirmidzi dalam bab Buyû’, no. 1232 dan Ibnu Mâjah, no. 2187] [4]

Dengan demikian, kalau ada orang yang melakukan akad jual beli pada barang yang bukan miliknya, maka akad itu tidak sah, meskipun yang melakukan transaksi itu seorang bapak pada barang yang menjadi hak milik anaknya.

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn rahimahullah mengatakan: “Jika ada yang berkata: Bukankah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Kamu dan hartamu adalah milik orang bapakmu.” Kami katakan : ‘Benar, namun jika seorang bapak hendak menjual harta benda anaknya, maka hendaklah dia memilikinya terlebih dahulu, kemudian setelah menjadi hak miliknya baru dijual.”

Syaikh Shâlih Fauzân hafizhahullâh membawakan sebagian contoh jual-beli yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki barang yaitu, seorang pembeli datang kepada seorang pedagang untuk mencari suatu barang. Sedangkan barang yang dicari tersebut tidak ada pada pedagang itu. Kemudian antara pedagang dan pembeli saling sepakat untuk melakukan akad dan menentukan harga dengan dibayar sekarang ataupun nanti, sementara itu barang belum menjadi hak milik pedagang atau si penjual. Pedagang tadi kemudian pergi membeli barang dimaksud dan menyerahkan kepada si pembeli.

Jual-beli seperti ini hukumnya haram, karena si pedagang menjual sesuatu yang barangnya tidak ada padanya, dan menjual sesuatu yang belum menjadi miliknya, jika barang yang diinginkan itu sudah ditentukan [5]

Kedua : Syarat Barang Yang Diperjual Belikan
1. Barang yang diperjual belikan itu merupakan barang yang secara mutlak boleh dimanfaatkan menurut syari’at dalam segala kondisi. Ini berarti, jual-beli barang yang diharamkan menurut syari’at itu tidak sah. Misalnya jual beli khamr, babi, alat-alat musik, bangkai dan lain sebagainya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَاْلأََصْنَامِ

Sesungguhnya Allah dan RasulNya mengharamkan jual beli khamr, bangkai, babi dan patung [Muttafaq ‘alaih]

Dalam hadits Abu Daud :

إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَثَمَنَهَا وَحَرَّمَ الْمَيْتَةَ وَثَمَنَهَا وَحَرَّمَ الْخِنْزِيرَ وَثَمَنَهُ

Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla mengharamkan khamer dan hasil penjualannya, mengharamkan bangkai dan hasil penjualannya, mengharamkan babi dan hasil penjualannya. [HR Abu Dâwud, no. 3485, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu]

Juga tidak boleh memperjualbelikan minyak yang najis ataupun yang tercampur najis. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا حَرَّمَ شَيْئًا حَرَّمَ ثَمَنَهُ

Sesungguhnya jika Allah telah mengharamkan sesuatu, maka Allah juga mengharamkan hasil penjualannya [HR Abu Dâwud dan Ahmad]

Dalam sebuah hadits yang disepakati keshahîhannya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya:

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ شُحُومَ الْمَيْتَةِ فَإِنَّهُ يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ

Bagaimana pendapatmu tentang lemak bangkai ? sesungguhnya lemak ini bisa dipergunakan untuk mengecat perahu, melembabkan kulit dan menyalakan lampu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Tidak boleh. Itu barang haram.”

2. Barang yang diperjualbelikan itu bisa diserahterimakan. Karena menjual barang yang tidak bisa diserahterimakan sama saja dengan tidak ada, sehingga tidak sah diperjualbelikan. Misalnya, jual-beli binatang yang lepas, burung di udara, barang yang dirampas, sementara yang memiliki tidak mampu mengambilnya.

3. Barang dan alat tukarnya sudah diketahui oleh dua orang yang melakukan transaksi jual-beli. Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn rahimahullah mengatakan, “Banyak cara untuk mengetahui sesuatu; bisa dengan melihat, mendengar, mencium, mencicipi, menyentuh dan menjelaskan sifat-sifatnya.[6]
Jika terjadi transaksi, padahal salah satu pelaku transaksi tidak mengetahui barangnya atau alat tukarnya, berarti ada ketidaktahuan dan ketidaktahuan (ketidakjelasan) itu adalah gharar. Sementara jual-beli yang mengandung unsur gharar yang berpotensi menimbulkan perselisihan dilarang dalam Islam dan tidah sah. Namun jika unsur gharar (ketidakjelasan-pent) ini sedikit, sehingga tidak berpotensi menimbulkan permasalahan di masa yang akan datang, maka jual-beli itu sah.

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan : “Larangan jual beli dengan gharar ini termasuk dasar yang penting dari dasar-dasar jual-beli. Oleh karena itu Imam Muslim meletakkan hadits di awal. Yang termasuk dalam jual-beli dengan gharar ini banyak sekali, tidak terhitung, seperti menjual budak yang melarikan diri, menjual sesuatu yang tidak ada, menjual sesuatu yang tidak diketahui (dengan jelas-pent), menjual sesuatu yang tidak bisa diserahterimakan, menjual sesuatu yang belum sepenuhnya menjadi hak milik si penjual, menjual ikan yang masih dalam air yang banyak, susu yang masih dalam perut, janin yang masih dalam perut induknya, menjual setumpuk makanan yang belum jelas, menjual salah satu kambing (yang tidak ditentukan-pent) yang berada di antara sekelompok kambing, atau salah satu kain (tanpa ditentukan-pent) yang berada dalam tumpukan kain-kain dan yang semisalnya. Semua akad jual-beli ini batal, karena jual-beli dengan gharar yang tidak diperlukan.” [7]

Dalam kitab Al-Majmû’, Imam Nawawi rahimahullah mengatakan : “Berdasarkan hadits ini, hukum asal dari jual-beli dengan gharar itu batil. Maksudnya jual-beli yang nyata-nyata ghararnya ada, padahal gharar ini bisa dihindari. Sedangkan gharar yang diperlukan serta tidak bisa dihindari, seperti (gharar atau tidak mengetahui-pent) pondasi rumah dan yang semisalnya, maka jual-beli ini sah berdasarkan ijmâ’”[8]

Dengan memahami syarat ini juga kita akan mengetahui ketidakhalalan akad pada barang yang tidak jelas, seperti jual-beli mulâmasah (sentuhan). Misalnya, si penjual mengatakan, “Pakaian manapun yang engkau sentuh, maka engkau bisa membayarnya dengan harga sekian.”

Jual beli munâbadzah, si penjual mengatakan, “Pakaian manapun yang engkau lemparkan kepadaku, maka akan saya bayar dengan harga sekian.”

Dalam sebuah hadits shahîh, Abu Hurairah Radhiyallahu anhu mengatakan :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْمُلاَمَسَةِ وَالْمُنَابَذَةِ

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli mulâmasah dan jual beli munâbadzah [HR al-Bukhâri, no. 2146 dan Muslim, no. 3780]

Itulah bebebrapa syarat jual-beli, jika salah satu di antara syarat-syarat ini tidak ada, maka akad jual-beli itu tidak sah dan digolongkan ke dalam jual-beli yang terlarang.

JUAL BELI YANG TERLARANG KARENA KONDISI SAAT TERJADI AKAD
Hukum asal dari jual-beli itu adalah mubâh (boleh), berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla :

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

… padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. [al-Baqarah/2:275]

Dan berdasarkan dalil-dalil lain yang menunjukkan jual-beli itu mubâh. Terkadang hukum mubâh ini bisa berubah menjadi sunat bahkan wajib, jika itu satu-satunya cara untuk mewujudkan kemaslahatan. Namun terkadang juga, berubah menjadi haram karena ada persyaratan yang kurang atau terkadang persyaratan jual beli sudah lengkap, namun tetap terlarang dalam syari’at, disebabkan akad jual-beli ini mengakibat si pelaku meninggalkan sesuatu yang wajib atau terjerumus kepada suatu yang diharamkan. Misalnya, jual-beli yang dilakukan setelah adzan shalat jum’at atau menjual suatu yang halal namun si pembeli akan menggunakannya untuk suatu yang diharamkan.

Ajari Anak-Anak Untuk Berdoa




AJARI ANAK-ANAK UNTUK BERDOA

Oleh
Ustadz Rizal Yuliar, Lc



MENJAGA ANAK, PERAN WAJIB ORANG TUA
Anak adalah amanat yang Allah Azza wa Jalla titipkan kepada orang tua. Amanat itu wajib dijaga dan dirawat sebaik-baiknya. Allah Azza wa Jalla akan meminta pertanggungjawabannya di hari Kiamat kelak. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Sungguh setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan mempertanggungjawabkannya, seorang lelaki adalah penjaga bagi anggota keluarganya dan dia akan diminta pertanggungjawabannya…". [1]

Dalam riwayat lain, beliau n bersabda:

إِنَّ اللهَ سَائِلٌ كُلَّ رَاعٍ عَمَّا اسْتَرْعَأهُ أَحَفِظَهَ أَمْ ضَيَّعَهُ؟ حَتَّى يَسْأَلَ الرّجُلَ عَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ

Sungguh Allah akan meminta pertanggungjawaban setiap pemimpin atas setiap hal yang ia emban, apakah telah memeliharanya (dengan baik) atau (justru) menyia-nyiakannya? Termasuk menanyakan kepada seseorang (ayah) tentang keluarganya".[2]

Seorang anak berhak mendapatkan tarbiyah Islamiyah (pembinaan secara Islami) terbaik dari kedua orang tuanya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَإِنَّ لِوَلَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا

Dan sungguh, anakmu memiliki hak (yang menjadi kewajiban) atas dirimu[3]

Hak yang disampaikan dalam hadits tersebut selain mencakup pemenuhan kebutuhan fisik, juga menyangkut hak untuk diajari, dibimbing, diarahkan, diluruskan dan demikian seterusnya agar menjadi anak shalih. Maka seyogyanya kedua orang tua, pihak yang paling dekat dengan anak, menjadi teladan nyata bagi anak semenjak kecil. Hendaklah keduanya menanamkan cinta kepada Allah Azza wa Jalla , cinta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , menyampaikan keindahan Islam dan tuntunan syariatnya kepadanya, membimbing mereka dalam menjalankan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla , menumbuhkan kesadaran beribadah serta berserah diri kepada Allah Azza wa Jalla. Hamba-hamba Allah Azza wa Jalla yang beriman senantiasa berdoa:

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

Ya Allah, karuniakanlah kami isteri-isteri dan anak keturunan yang (dapat) menjadi penyejuk pandangan. Serta jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa [al-Furqan/25:74]

Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhuma menjelaskan makna doa dalam ayat ini dengan bertutur, “Yaitu isteri dan anak yang melakukan ketaatan kepada-Mu ya Allah, sehingga pandangan kami akan menjadi sejuk dengan (kebaikan) mereka di dunia dan akherat kelak”.[4]

Syaikh as-Sa`di rahimahullah berkata, “Ini adalah doa untuk kebaikan isteri dan anak agar mereka menjadi shaleh. Dan doa ini mendatangkan manfaat besar bagi mereka yang memanjatkannya. Karenanya (dalam doa tersebut) mereka memohon sambil mengatakan "Ya Allah…karuniakanlah kepada kami…". Kebaikan doa ini akan (berdampak positif) dan bermanfaat bagi kaum Muslimin secara umum mengingat bahwa kebaikan para isteri dan anak dapat menjadi faktor penyebab kebaikan orang-orang yang berinteraksi dengan mereka".[5]

BIMBINGAN SEMENJAK DINI AGAR SI KECIL DEKAT DENGAN ALLAH AZZA WA JALLA
Menanamkan dan membimbing kebaikan bagi si buah hati semenjak ia masih kecil adalah perkara yang indah. Dengan itu, ia akan mengawali catatan pada lembaran putih kehidupannya dengan kedekatan kepada Allah Azza wa Jalla. Bimbingan yang dilakukan harus ditempuh secara bertahap, dimulai dari pengenalan adab-adab (ajaran-ajaran Islam) yang mendasar namun memiliki pengaruh besar yang begitu mendalam seperti yang tertuang dalam hadits berikut:

مُرُوْا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْناَءُ سَبْعِ سِنِيْنَ، وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَْبْناَءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقوُاْ بَيْنَهُمْ فِيْ الْمَضَاجِعِ

Perintahkanlah anak kalian untuk shalat ketika mereka mencapai umur tujuh tahun, pukullah mereka karena (meninggalkan) shalat setelah mencapai sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka [6]

Selain membimbing anak-anak pada masalah yang besar (seperti shalat) karena berhubungan dengan rukun Islam, termasuk perkara yang penting juga adalah membimbing anak-anak dalam masalah yang terkadang dianggap remeh oleh sebagian orang. Perhatikan kisah berikut ini:

Abu Burdah bercerita, “Aku mengunjungi Abu Musa al-Asy`ari ketika beliau berada di rumah puteri al-Fadhl bin `Abbâs Radhiyallahu ahuma (Ummu Kultsum Radhiyallahu anhuma adalah isteri Abu Musa). Abu Burdah berkata, “Aku bersin, namun Abu Musa tidak mengucapkan tasymît[7] bagiku. Sementara itu, ketika Ummu Kultsum bersin, maka beliau (Abu Musa) membacakan tasymît baginya. Lantas aku pulang kemudian mengadukannya kepada ibuku. Dan saat Abu Musa mengunjungi ibuku, maka ibuku mempertanyakan hal tersebut. Abu Musa menjawab, “Sungguh puteramu tadi bersin, akan tetapi tidak mengucapkan alhamdulillâh, maka aku pun tidak membaca tasymît baginya. Adapun puteri al-Fadhl, ketika dia bersin dia mengucapkan alhamdulillâh, maka (segera) aku membacakan tasymît baginya. Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian bersin kemudian mengucapkan alhamdulillâh, maka bacakanlah baginya tasymît, namun apabila dia tidak mengucapkan alhamdulillâh, maka janganlah kalian membacakan baginya tasymît ".[8]

TEMAN BERGAUL, CERMINAN DIRI ANDA



Oleh
Ustadz Abu Ahmad Said Yai, Lc



Sebenarnya, sangat mudah mengetahui seperti apa cerminan diri Anda. Cukup dengan melihat bersama siapa saja Anda sering bergaul, seperti itulah cerminan diri Anda. Kenyataan ini telah dipaparkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

الْمُؤْمِنُ مِرْآةُ (أخيه) الْمُؤْمِنِ

Seorang mukmin cerminan dari saudaranya yang mukmin [1]

Kalau seorang biasa berkumpul dengan seseorang yang hobinya berjudi, maka kurang lebih dia seperti itu juga. Begitu pula sebaliknya, kalau dia biasa berkumpul dengan orang yang rajin shalat berjamaah, maka kurang lebih dia seperti itu.

Allah Azza wa Jalla menciptakan ruh dan menciptakan sifat-sifat khusus untuk ruh tersebut. Di antara sifat ruh (jiwa) adalah dia tidak mau berkumpul dan bergaul dengan selain jenisnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan hakekat ini dengan bersabda:

الأَرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ

Ruh-ruh itu bagaikan pasukan yang berkumpul (berkelompok). (Oleh karena itu), jika mereka saling mengenal maka mereka akan bersatu, dan jika saling tidak mengenal maka akan berbeda (berpisah) [2]

Memilih teman yang baik adalah sesuatu yang tak bisa dianggap remeh. Karena itu, Islam mengajarkan agar kita tak salah dalam memilihnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

Seseorang itu tergantung pada agama temannya. Oleh karena itu, salah satu di antara kalian hendaknya memperhatikan siapa yang dia jadikan teman [3]

Sudah dapat dipastikan, bahwa seorang teman memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap temannya. Teman bisa mempengaruhi agama, pandangan hidup, kebiasaan dan sifat-sifat seseorang.

Syaikh 'Abdul Muhsin Al-Qâsim [4] berkata, "Sifat manusia adalah cepat terpengaruh dengan teman pergaulannya. Manusia saja bisa terpengaruh bahkan dengan seekor binatang ternak.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

الْفَخْرُ وَالْخُيَلاَءُ فِي الْفَدَّادِينَ أَهْلِ الْوَبَرِ وَالسَّكِينَةُ فِي أَهْلِ الْغَنَمِ

Kesombongan dan keangkuhan terdapat pada orang-orang yang meninggikan suara di kalangan pengembala onta. Dan ketenangan terdapat pada pengembala kambing [5]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa mengembalakan onta akan berpengaruh akan timbulnya kesombongan dan keangkuhan dan mengembalakan kambing berpengaruh akan timbulnya sifat ketenangan. Jika dengan hewan saja, makhluk yang tidak punya berakal dan kita tidak tahu apa maksud dari suara yang dikeluarkannya, manusia saja bisa terpengaruh .… maka bagaimana pendapat Anda dengan orang yang bisa bicara dengan Anda, paham perkataan Anda, bahkan terkadang membohongi dan mengajak Anda untuk memenuhi hawa nafsunya serta memperdayai Anda dengan syahwat? Bukankan orang itu akan lebih berpengaruh? [6]

Setelah mengetahui betapa pentingnya memilih teman yang baik, di sini akan dipaparkan sifat dan karakter orang yang pantas dijadikan sebagai teman dan sahabat karib. Di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Berakidah Lurus
Ini menjadi syarat mutlak dalam memilih teman. Dia harus beragama Islam dan berakidah Ahlus sunnah wa -jamâ'ah. Bukankah kita semua tahu kisah kematian Abu Thalib, paman Rasulullah?

Ya, dalam keadaan terbaring dan menghadapi detik-detik kematian, ada tiga orang yang menyertainya. Mereka adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Abu Jahl dan 'Abdullah bin Abi Umayyah, dua orang terakhir ini adalah tokoh kaum kafir Quraisy. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak pamannya dengan berseru, "Paman! Katakanlah lâ ilâha illallâh! Satu kalimat yang akan ku jadikan bahan pembelaan bagimu di hadapan Allah." Dua tokoh kafir itu menimpali, "Abu Thalib! Apakah kamu membenci agama Abdul-Muththalib?"

Tanpa henti, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam "menawarkan" kalimat itu dan sebaliknya mereka berdua juga terus melancarkan pengaruh. Sampai akhirnya Abu Thalib masih enggan mengucapkan lâ ilâha illallâh dan tetap memilih agama Abdul-Muththalib.[7] Ia pun mati dalam kekufuran.

Cobalah lihat buruknya pengaruh orang-orang yang ada di sekitarnya! Padahal Abu Thalib sudah membenarkan ajaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam hatinya.

2. Bermanhaj Lurus
Ini juga menjadi sifat mutlak yang kedua. Oleh karena itu, Islam melarang berteman dengan ahlul-bid'ah dan ahlul-hawa'. Ibnu 'Abbâs Radhiyallahu anhuma berkata, "Janganlah kalian duduk-duduk bersama dengan ahlulhawa! Sesungguhnya duduk-duduk dengan mereka menimbulkan penyakit dalam hati (yaitu bid'ah )."[8]

3. Taat Beribadah Dan Menjauhi Perbuatan Maksiat
Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ

Sabarkanlah dirimu bersama orang-orang yang berdoa kepada Allah, pada waktu pagi dan petang, (yang mereka itu) menginginkan wajah-Nya [al-Kahfi/18: 28]

Dalam menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsîr rahimahullah menyatakan, "Duduklah bersama orang-orang yang mengingat Allâh, yang ber-tahlîl (mengucapkan lâ ilâha illallâh), memuji, ber-tasbiih (mengucapkan subhaanallah), bertakbir (mengucapkan Allâhu akbar) dan memohon pada-Nya di waktu pagi dan petang di antara hamba-hamba Allâh, baik mereka itu orang-orang miskin atau orang-orang kaya, baik mereka itu orang-orang kuat maupun orang-orang yang lemah."

4. Berakhlak Terpuji Dan Bertutur Kata Baik
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا

Mukmin yang paling sempurna imannya adalah mukmin yang paling baik akhlaknya [9]

Al-Ahnaf bin Qais rahimahullah berkata, "Kami dulu selalu mengikuti Qais bin 'Ashim. Melalui dirinya, kami belajar kesabaran dan kemurahan hati sebagaimana kami belajar ilmu fikih."[10]

5. Teman Yang Suka Menasehati Dalam Kebaikan
Teman yang baik tentu tidak senang jika kawannya sendiri terjatuh dalam perbuatan dosa. Jika Anda memiliki teman, tetapi tidak pernah menegur dan tidak memperdulikan diri Anda ketika melakukan kesalahan, maka perlu dipertanyakan landasan persahabatan yang mengikat mereka berdua. Ia bukan seorang teman?

Salah satu ciri orang yang tidak rugi sebagaimana disebutkan oleh Allah Azza wa Jalla pada surat al-'Ashr, mereka saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian sampai dia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri [11]

6. Zuhud Terhadap Dunia Dan Tidak Berambisi Mengejar Kedudukan
Teman yang baik tentu tidak akan menyibukkan saudaranya dengan hal-hal yang bersifat keduniawian, seperti sibuk membicarakan model-model handphone, mobil mewah keluaran terbaru dan barang-barang konsumtif yang menjadi incaran kaum hedonis.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Bersikaplah zuhud terhadap dunia, maka Allah akan mencintaimu. Dan bersikaplah tidak membutuhkan terhadap apa-apa yang dimiliki manusia, maka manusia akan mencintaimu."[12]

7. Banyak Ilmu Atau Dapat Berbagi Ilmu Dengannya
Tidak salah lagi, berteman dengan orang-orang yang punya dan mengamalkan ilmu agama akan memberi pengaruh positif yang besar pada diri kita.

8. Berpakaian Yang Islami
Teman yang baik selalu memperhatikan pakaiannya, baik dari segi syariat, kebersihan dan kerapiannya. Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah berkata dalam kitab al-Hilyah, "Perhiasan yang tampak menunjukkan kecondongan hati. Orang-orang akan mengklasifikasikan dirimu hanya dengan melihat pakaianmu…Maka pakailah pakaian yang menghiasimu dan tidak menjelekkanmu, dan tidak menjadi bahan celaan dalam pembicaraan orang atau bahan ejekan orang-orang tukang cemooh."[13]

9. Ia Selalu Menjaga Kewibawaan Dan Kehormatan Dirinya Dari Hal-Hal Yang Tidak Layak Menurut Pandangan Masyarakat
Teman yang baik selalu memelihara dirinya dari perkara-perkara tersebut, kendatipun merupakan hal-hal yang diperbolehkan dalam agama, bukan maksiat. Seandainya suatu daerah menganggap bahwa main bola sodok adalah permainan tercela (sebuah aib bagi orang yang ikut bermain), maka tidak sepantasnya bergaul dengan orang-orang yang suka bermain permainan itu.

Khusyu Dalam Shalat Dan Pengaruhnya Bagi Seorang Muslim




KHUSYU DALAM SHALAT DAN PENGARUHNYA BAGI SEORANG MUKMIN

Oleh
Syaikh Abdul Bari ats Tsubaiti


Saya wasiatkan kepada Anda semua dan diri saya sendiri untuk bertakwa kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepadaNya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. [Ali Imran/3 : 102].

إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. [al Ankabut/29 : 45]

Pembicaraan tentang shalat membutuhkan pengingatan dan pengulangan, tidak boleh ada kebosanan untuk mendengarkannya. Karena shalat merupakan kewajiban yang paling besar pengaruhnya, paling agung penjelasan dan kebaikannyan dan yang paling berbahaya apabila ditinggalkan. Shalat merupakan tiang agama dan kunci surga Allah. Barangsiapa yang menjaga shalat, berarti dia telah berpegang dengan syariat Islam dan mengambil pondasinya. Barangsiapa yang melalaikan shalat, berarti dia telah melalaikan agamanya dari pondasinya.

Shalat juga merupakan obat yang bisa menyembuhkan penyakit-penyakit hati, kejelekan jiwa dan penyakit-penyakitnya; bagaikan cahaya yang menghilangkan pekatnya dosa-dosa dan kemaksiatan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan permisalan dalam sabdanya :

أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهْرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ مِنْهُ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسَ مَرَّاتٍ هَلْ يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَيْءٌ قَالُوا لَا يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَيْءٌ قَالَ فَذَلِكَ مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ يَمْحُو اللَّهُ بِهِنَّ الْخَطَايَا

“Apa pendapat kalian, seandainya ada sungai di depan pintu salah seorang dari kalian, dia mandi disungai itu lima kali sehari; apakah ada kotoran/daki yang tersisa?” Mereka menjawab,”Tidak akan ada kotoran yang tersisa sedikitpun.” Nabi berkata,”Demikianlah permisalan shalat lima waktu. Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan dengan sebab shalat.” [HR Muslim]

Hal ini juga dikuatkan oleh hadits tentang keutamaan wudhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

فَإِنْ هُوَ قَامَ فَصَلَّى فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَمَجَّدَهُ بِالَّذِي هُوَ لَهُ أَهْلٌ وَفَرَّغَ قَلْبَهُ لِلَّهِ إِلَّا انْصَرَفَ مِنْ خَطِيئَتِهِ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

Apabila dia berdiri untuk mengerjakan shalat, kemudian memuji dan mengagungkan Allah dengan pujian yang pantas bagi Allah, dia mengkhusyu’kan hatinya untuk Allah, kecuali dia berpisah dengan kesalahannya sebagaimana keadaannya pada hari dilahirkan oleh ibunya. [HR Muslim].

Seperti inilah buah dari ibadah, dan sedemikian besar hasil dari pelaksanaan ibadah shalat ini, sehingga pantas untuk diperhatian dan ditegakkan. Mari kita jadikan shalat sebagai penghias hidup kita dan bisikan hati kita.

Allahu Akbar; Hayya ‘alash shalat; Hayya ‘alal falah (mari kita kerjakan shalat, mari menuju kebahagiaan), panggilan yang bergema di segenap penjuru, adzan yang menembus telinga untuk membangunkan jasad yang bercahaya dengan keimanan dan hati yang khusyu’.

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya. [al Mukmin/23 : 1-2].

Dengan khusyu’, seseorang yang shalat dapat menyatukan antara kebersihan lahiriyah dan kebersihan batiniyah, ketika dia berkata dalam ruku`nya :

خَشَع لَكَ َ سَمْعِي وَبَصَرِي وَمُخِّي وَعَظْمِي وَعَصَبِي

Khusyu’ kepadaMu pendengaranku, penglihatanku, otakku, tulangku dan otot-ototku. [HR Muslim].

Melanggar Sumpah Wajib Membayar Denda, Denda Sumpah Adalah Berupa Makanan Bukan Uang



Apabila anda bersumpah dihadapan anak-anak anda atau dihadapan siapapun agar mereka melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan, kemudian mereka melanggarnya, maka anda wajib membayar denda sumpah anda tersebut. Begitu juga jika anda bersumpah untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan, lalu anda melihat bahwa ternyata anda lebih baik membatalkan sumpah anda tersebut, maka batalkanlah sumpah anda kemudian anda membayar denda sumpah tersebut. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. "Jika engkau bersumpah, kemudian engkau melihat sesuatu yang lebih baik dari sumpah tersebut, maka batalkanlah sumpahmu (dengan membayar denda) dan kerjakanlah sesuatu yang lebih baik dari sumpahmu itu"

Hukum Nadzar : Makruh Atau Haram?


 Banyak orang yang bila sudah sakit, akan bernadzar untuk melakukan ini dan itu bila disembuhkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan bila sesuatu hilang, dia bernadzar untuk melakukan ini dan itu bila menemukannya kembali. Kemudian, bila dia ternyata disembuhkan atau menemukan kembali barang yang hilang tersebut, bukanlah artinya bahwa nadzar itu yang menyebabkannya akan tetapi hal itu semata berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan Allah adalah Mahamulia dari sekedar kebutuhan akan suatu persyaratan ketika Dia dimintai. Oleh karena itu, anda wajib bermohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar disembuhkan dari sakit ini atau agar barang yang hilang ditemukan kembali. Sedangkan nadzar itu sendiri, ia tidaklah memiliki aspek apapun dalam hal ini.

Hukum Bersumpah Dengan Menyebut Nama Selain Allah




Bersumpah, artinya menguatkan suatu obyek pembicaraan dengan menyebut sesuatu yang diagungkan dengan lafazh yang khusus. Yaitu dengan menggunakan salah satu di antara huruf sumpah ba`, wawu, atau ta` (dalam bahasa Arab). Yakni dengan mengatakan billahi, wallahi, atau tallahi, yang artinya demi Allah. Dengan demikian, di dalam sumpah terkandung sikap pengagungan kepada yang namanya disebut dalam sumpah tersebut. Sedangkan pengagungan termasuk jenis ibadah yang tidak boleh ditujukan, kecuali hanya kepada Allah Azza wa Jalla. Oleh karena itu, bersumpah adalah ibadah yang hanya boleh ditujukan kepada Allah saja dengan mengatakan demi Allah saja! Berdasarkan hal itu, maka bersumpah dengan menyebut nama selain nama Allah adalah perbuatan syirik. Sebab dalam sumpah tersebut terkandung pengagungan kepada selain Allah, berdasarkan hadits dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Barangsiapa yang bersumpah dengan menyebut selain nama Allah, maka sungguh dia telah kafir atau musyrik". Yang dimaksud bersumpah dengan menyebut selain nama Allah -yang dianggap musyrik- maksudnya, mencakup segala sesuatu selain Allah, baik itu Ka'bah, rasul, langit, malaikat dan lain-lain. Misalnya, yaitu dengan mengatakan “demi Ka'bah”, atau “demi Rasulullah”, “demi Jibril”, demi cintaku kepadamu, demi langit yang luas, dan seterusnya.

ibadah

A. Definisi Ibadah
Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Sedangkan menurut syara’ (terminologi), ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain adalah:

1. Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para Rasul-Nya.

2. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.

3. Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin. Yang ketiga ini adalah definisi yang paling lengkap.

Ibadah terbagi menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan syukur dengan lisan dan hati adalah ibadah lisaniyah qalbiyah (lisan dan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan amalan hati, lisan dan badan.

Taubat Nasuha

Taubat adalah kembali kepada Allah setelah melakukan maksiat. Taubat marupakan rahmat Allah yang diberikan kepada hamba-Nya agar mereka dapat kembali kepada-Nya.

Agama Islam tidak memandang manusia bagaikan malaikat tanpa kesalahan dan dosa sebagaimana Islam tidak membiarkan manusia berputus asa dari ampunan Allah, betapa pun dosa yang telah diperbuat manusia. Bahkan Nabi Muhammad telah membenarkan hal ini dalam sebuah sabdanya yang berbunyi: "Setiap anak Adam pernah berbuat kesalahan/dosa dan sebaik-baik orang yang berbuat dosa adalah mereka yang bertaubat (dari kesalahan tersebut)."

Di antara kita pernah berbuat kesalahan terhadap diri sendiri sebagaimana terhadap keluarga dan kerabat bahkan terhadap Allah. Dengan segala rahmatnya, Allah memberikan jalan kembali kepada ketaatan, ampunan dan rahmat-Nya dengan sifat-sifat-Nya yang Maha Penyayang dan Maha Penerima Taubat. Seperti diterangkan dalam surat Al Baqarah: 160 "Dan Akulah yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang."

Taubat dari segala kesalahan tidaklah membuat seorang terhina di hadapan Tuhannya. Hal itu justru akan menambah kecintaan dan kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya karena sesungguhnya Allah sangat mencintai orang-orang yang bertaubat dan mensucikan diri. Sebagaimana firmanya dalam surat Al-Baqarah: 222, "Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri."

Taubat dalam Islam tidak mengenal perantara, bahkan pintunya selalu terbuka luas tanpa penghalang dan batas. Allah selalu menbentangkan tangan-Nya bagi hamba-hamba-Nya yang ingin kembali kepada-Nya. Seperti terungkap dalam hadis riwayat Imam Muslim dari Abu musa Al-Asy`ari: "SesungguhnyaAllah membentangkan tangan-Nya di siang hari untuk menerima taubat orang yang berbuat kesalahan pada malam hari sampai matahari terbit dari barat."

Merugilah orang-orang yang berputus asa dari rahmat Allah dan membiarkan dirinya terus-menerus melampai batas. Padahal, pintu taubat selalu terbuka dan sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya karena sesungguhnya Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha penyayang.

Tepatlah kiranya firman Allah dalam surat Ali Imran ayat: 133, "Bersegaralah kepada ampunan dari tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa yaitu orang-orang yang menafkahkan hartanya baik di waktu lapang maupun sempit dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampunan terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui."

Taubat yang tingkatannya paling tinggi di hadapan Allah adalah "Taubat Nasuha", yaitu taubat yang murni. Sebagaimana dijelaskan dalam surat At-Tahrim: 66, "Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam sorga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bresamanya, sedang cahaya mereka memancar di depan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan 'Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kamidan ampunilah kami, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu'".

Taubat Nasuha adalah bertaubat dari dosa yang diperbuatnya saat ini dan menyesal atas dosa-dosa yang dilakukannya di masa lalu dan brejanji untuk tidak melakukannya lagi di masa medatang. Apabila dosa atau kesalahan tersebut terhadap bani Adam (sesama manusia), maka caranya adalah dengan meminta maaf kepadanya. Rasulullah pernah ditanya oleh seorang sahabat, "Apakah penyesalan itu taubat?", "Ya", kata Rasulullah (H.R. Ibnu Majah). Amr bin Ala pernah mengatakan: "Taubat Nasuha adalah apabila kamu membenci perbuatan dosa sebagaimana kamu pernah mencintainya".

Di bulan pengampunan, Ramadhan yang "Syahrul Maghfirah" ini adalah saat yang tepat untuk kita bertaubat. Bagi yang sudah bertaubat mari memperbarui taubatnya dan yang belum taubat mari bergegas kepada ampunan Allah. 10 hari kedua bulan Ramadhan merupakan masa maghfirah (ampunan) sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis riwayat Abu Haurairah "Ramadhan, awalnya Rahmah, pertengahannya Maghfirah, dan akhirnya dibebaskan dari api neraka" (H.R. Ibnu Huzaimah).

Hikmah Ramadhan



Selain posisi istimewa di sisi Allah SWT yang diperoleh oleh seorang mukmin yang berpuasa, hikmah dari puasa juga teramat besar. Baik hikmah rohani maupun jasmani, baik terhadap diri pribadi maupun kepada masyarakat luas.

Ramadhan juga sebagai syahrul ibadah (bulan ibadah) dimana terdapat nilai ibadah yang tinggi serta semangat beribadah yang tinggi. Selain itu juga sebagai "Syahrul Fath" (bulan kemenangan). Umat Islam memperoleh kemenangan dalam "perang kecil", perang Badar. Bisa dikatakan juga sebagai "Syahrul Huda" (bulan petunjuk) karena pada bulan Ramadhanlah turunnya petunjuk kehidupan yaitu al-Quran pada pertama kalinya. Selain itu bulan Ramadhan juga disebut sebagai "Syahrul Ghufran" (bulan penuh ampunan). Pada bulan ini, dimudahkan pintu pengampunan dan pembebasan dari api neraka. Sebagai "Syahrus Salam" (bulan keselamatan), bulan Ramadhan adalah bulan yang mengandung nilai-nilai edukatif yang dapat menciptakan keselamatan, kesejahteraan dan kedamaian bagi umat manusia. Dan yang terakhir adalah sebagai "Syahrul Jihad" (bulan perjuangan). Pada bulan ini, manusia dihadapkan pada perjuangan yang amat besar. Mereka menahan diri dari perbuatan yang biasa diperbuat, selain menahan diri dari "ritualitas" makan dan minum sebagai kebutuhan primer sejak fajar sampai terbenamnya matahari. Dan kalau sudah berbuka, dianjurkan untuk menahan diri dari makan dan minum yang berlebihan bahkan dianjurkan untuk membatasinya. Upaya ini merupakan cara untuk memelihara kesehatan jasmani. Bukankah masalah perut (makan dan minum) juga pemicu timbulnya penyakit jiwa? Begitulah kira-kira apa yang dikatakan para sufi.

Kalau penyakit "rakus dan tamak" menimpa seseorang, akibat dan bahayanya bukan hanya terbatas pada lingkungan kecil tetapi lambat laun akan merambat dalam kehidupan berbangsa sehingga akan menimbulkan semangat kapitalisme yang kemudian bersifat ekspansif, yaitu mengeksploitasi milik orang lain akibat sifat serakahnya tersebut. Sehingga benar apa yang disinyalir Imam Ghazali dalam Ihya 'Ulumuddin-nya bahwa bencana paling besar dalam kehidupan manusia adalah nafsu perut.

Kalau kita melaksanakan puasa, kita akan mengadaptasi diri kita dengan mereka yang berekonomi lemah yang sering merasakan haus dan lapar, sehingga akan timbul rasa kasih sayang dan ketajaman rasa sosial yang akan menjadi pengalaman rohani tersendiri. Mungkinkah kasih sayang tidak tumbuh ketika pemandangan itu terjadi di depan mata kita?

Dalam batas yang paling rendah; setidak-tidaknya kehausan dan kelaparan yang diakibatkan puasa tersebut akan mengingatkan kita pada kaum fakir miskin sehingga termanifestasi dengan sedekah yang banyak sebagai tindakan konkrit dari rasa solidaritas sosial yang nantinya akan menjembatani antara the have dan the have not yang pada titik akhirnya akan tercipta sumber daya manusia yang mempunyai etika dan kepekaan sosial yang tinggi.

Masih banyak hikmah-hikmah lain yang bisa kita petik intisarinya dari pelaksanaan puasa. Semoga bukan hanya sekedar idealisme belaka, melainkan sebuah realitas sepanjang masa setelah menjalani Ramadhan.

Semoga saja kita dapat menjadikan Ramadhan sebagai wadah penggemblengan mental sehingga tercipta kontrol diri yang baik yang akan meluas dampaknya ke masyarakat sehingga puasa bukan hanya memperoleh lapar dan haus saja, agar kita tidak tergolong orang-orang yang disinyalir Nabi SAW:

"Berapa banyak orang yang berpuasa tetapi dia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali hanya lapar dan haus."

Tapi kita berharap dengan puasa disamping hikmah yang dikandungya, yang paling penting adalah semua semata-mata pengabdian kita kepada Allah SWT.

Bersikap Dermawan di Bulan Ramadan

Sifat dermawan adalah sifat yang sangat terpuji lagi mulia. Cukup lah bagi kita untuk memahaminya, bahwa Allah swt telah menasbihkan diriNya dengan sifat "al-Karim", Yang Maha Dermawan. Kalau lah tidak karena kedermawanan Allah, kita pasti tidak memiliki apa-apa, tidak kesejahteraan, tidak pula ketentraman. Dermawan juga merupakan sifat para Nabi, para sahabat, serta orang-orang saleh.
Seorang yang dermawan akan ditutupi Allah aib dan keburukannya. Bahkan kebaikan demi kabaikan akan diperolehnya. Seorang penyair Arab pernah mengatakan "Seorang dermawan, apabila engkau memujinya, maka semua orang akan ikut memujinya, namun apabila engkau mencelanya, akan kau dapati bahwa hanya engkau sendiri yang mencelanya".

Dermawan artinya rela berkorban di jalan Allah dengan harta atau bahkan jiwa dan raga. Dermawan bisa terwujud dalam bentuk: uluran tangan untuk memberi sedekah, infak, zakat, bantuan dana pembangunan masjid, sumbangan ke sekolah; ke pasantren; panti asuhan, dan juga termasuk membantu para pengungsi, korban perang dan lain sebagainya. Derwaman merupakan cerminan rasa solidaritas kemanusiaan dari seorang hamba Allah Yang Maha Kasih kepada hamba lainnya yang memerlukan.

Tingkat tertinggi dari kedermawanan adalah "Iitsar", yaitu memberikan sesuatu kepada orang yang lebih memerlukan, padahal ia sendiri masih memerlukannya. Inilah yang digambarkan Allah swt dalah surat al Hashr ayat 9 dalam menceritakan kedemawanan kaum Anshar (penduduk Madinah) kepada kaum Muhajirin yang datang dari Makkah untuk berhijrah.

"Dan mereka ber-itsar (mengutamakan orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri sekalipun mereka memerlukan."

Konon ayat ini turun pada seorang sahabat yang dimintai Rasulullah agar bersedia menerima seorang tamu untuk bermalam dirumahnya. Karena rasa hormat sahabat tersebut kepada Rasulullah, maka diterimanya tamu tersebut, padahal ia menyadari tidak memiliki apapun untuk disuguhkan kecuali makan malam yang pas-pasan untuk keluarganya. Sahabat tersebut bersama isterinya lalu meninabobokkan anak-anak mereka hingga mereka tertidur sebelum makan malam, lalu dipadamkannya lampu ruangan sebelum mereka menyuguhkan makan malam kepada sang tamu. Lalu ia duduk bersama tamu berpura-pura ikut menyantap makanan, padahal ia tidak ikut makan karena khawatir akan sedikitnya makanan yang disuguhkan. Pagi harinya Allah mengabadikan sifat kedermawaan sahabat tersebut dalam ayat diatas untuk diingat dan dijadikan suri teladan umat Islam bahwa betapa mulianya sifat dermawan ini.

Kedermawanan seseorang akan menunjukkan keberanian dalam dirinya, karena ia tidak merasa takut akan kehilangan apa yang ia berikan kepada orang lain. Kedermawanan juga mencerminkan iman yang kuat dan kokoh, karena ia yakin bahwa apa yang diberikannya kepada orang lain niscaya akan mendapatkan ganti dari Allah. Inilah apa yang telah dijanjikan oleh Al Qur'an:


"Dan apa yang kalian infakkan, maka Dia (Allah) pasti menggantinya dan Dialah pemberi rizki yang sebaik-baiknya" (Q.S. Saba' : 34). Dalam sebuah hadis Rasulullah juga bersabda "Orang yang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia dan dekat dengan sorga. Sedangkan orang bakhil dan kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia dan dekat dengan Neraka".

Kedermawan yang dianjurkan adalah yang disertai keikhlasan untuk membantu saudara yang memerlukan dan demi mencari keridlaan Allah. Inilah yang akan mendapatkan pahala berlipat ganda dari Allah swt.

"Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan harta mereka di jalan Allah, adalah sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir dan setiap butir membuahkan lagi 100 biji. Allah melipat gandakan (pahala) bagi siapa yang dikehendakiNya. Allah maha luas karuniaNya dan lagi maha mengetahui" (al-Baqarah:261).

Di bulan Ramadan ini, patut kita menggugah diri, dengan kacamata kedermawanan untuk menaruh perhatian kepada saudara-saudara kita yang kebetulan bernasib kurang baik. Saudara-saudara kita: yang kelaparan, yang sakit, yang putus sekolah, yang kehilangan pekerjaan dan yang terlunta-lunta di pengungsian. Mereka menantikan uluran tangan, namun sering kita enggan untuk memberikan apa yang labih dari harta yang kita miliki. Puasa kita dengan meninggalkan makan dan minum seharian, tentu mengingatkan kita kepada saudara-saudara kita yang kelaparan dan kehausan, karena kemiskinan dan penderitaan mereka.

Di bulan Ramadan ini, kita selayaknya juga meningkatkan rasa kedermawanan kita sebagaimana diteladankan oleh Rasulullah. Kedermawanan beliau ketika memasuki bulan Ramadan diibaratkan melebihi kedermawanan hembusan angin yang membawa hujan, kesejukan dan kehidupan bagi alam semesta. (H.R. Muslim).

Jejak Rasulullah Saw Dalam Menyambut Bulan Suci Ramadhan

Bulan Ramadhan adalah bulan suci yang penuh dengan keberkahan dan keutamaan. Orang mukmin dianjurkan untuk meraih sebaik-baiknya, dan sebanyak-banyaknya kesempatan dalam berbuat kebajikan apapun bentuknya. Bila kita menelusuri jejak Rasululah saw. dalam menyambut bulan suci Ramadhan ini, maka akan kita dapati hal-hal sbb:

  1. Beliau selalu bergegas memenuhi panggilan kebaikan, seperti salat berjama'ah, salat sunnah, mengeluarkan sedekah, membaca al-Qur'an dan sebagainya. Beliau bersabda: "Apabila datang malam pertama bulan Ramadhan, dibelenggulah syetan dan jin, ditutuplah pintu-pintu mereka, dan dibukalah pintu-pintu surga, kemudian diserukan: wahai orang yang mendambakan kebaikan, datanglah!! dan wahai orang yang tak suka kebaikan, bermalaslah!! (artinya, engganlah memperbanyak amalmu). Dan sesungguhnya dalam bulan Ramadhan ini setiap malamnya Allah swt. membebaskan orang-orang yang dikehendakiNYA dari api neraka. (Hadis riwayat Imam al-Turmudzi)
  2. Melipatgandakan amal perbuatan yang baik, baik yang fardlu maupun yang sunnah. Diriwayatkan oleh Salman, bahwa pada suatu hari di penghujung bulan Sya'ban Rasulullah saw. bersabda, "Wahai sekalian manusia, telah datang kepadamu bulan yang agung, penuh keberkahan, di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan; diwajibkan padanya puasa; dan dianjurkan untuk menghidupkan malam-malamnya. Maka barang siapa yang mengerjakan satu kebajikan pada bulan ini, seolah-olah ia mengerjakan satu perintah kewajiban di bulan lain, dan siapa yang mengerjakan ibadah yang wajib, seakan-akan ia mengerjakan tujuh puluh kali kewajiban tersebut di bulan yang lain."

    Begitulah pahala mengerjakan ibadah sunnah sama dengan pahala mengerjakan ibadah wajib, sedangkan ibadah wajib akan dibalas tujuh puluh kali lipat pahalanya.
  3. Beliau sangat pemurah dan sangat gemar bersedekah serta memberi makan orang yang berpuasa. Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary ra., bahwa Rasulullah saw. adalah orang yang paling pemurah, lebih-lebih pada bulan Ramadhan. Dilukiskan bahwa beliau bagaikan hembusan angin yang lembut, membawa banyak karunia, menabur kegembiraan di hati orang mukmin. Diriwayatkan pula bahwa beliau sangat penderma, bahkan tidak pernah menolak permintaan apapun yang diajukan ke beliau.
  4. Banyak berdo'a, terutama ketika hendak berbuka puasa. Beliau bersabda:
    "Saat-saat berbuka adalah saat yang paling tepat dan mujarab bagi orang yang berpuasa untuk berdoa." Dan doa yang selalu diucapkan ketika berdoa adalah "Ya Allah, hanya karenamu aku berpuasa, dan dengan rizkimu aku berbuka, telah hilang haus dan dahaka, maka tetap hauslah pahala bagiku, ya Allah!!".
  5. Selalu tadarus (membaca al-Qur'an). Setiap malam bulan Ramadhan Malaikat Jibril as. selalu datang menemui Rasulullah saw., dan bersama-sama membaca al-Qur'an, slih berganti. Hikmah tadarus Rasulullah di antaranya adalah untuk mengajarkan umatnya agar rajin membaca al-Qur'an atau tadarus, terutama di bulan suci Ramadhan itu, di setiap waktu, apalagi di malam hari, dan ketika mengerjakan salat malam (tahajjud).
  6. Meningkatkan gairah ibadahnya terutama pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Hal mana dilaksanakan untuk meraih terutama lailatul qadar. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Barangsiapa yang beribadah pada malam lailatul qadar dengan penih keimanan dan harapan, Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah ia lakukan." Seperti kita ketahui, bahwa ibadah pada malam ini sama nilainya dengan kita beribadah seribu bulan lamanya. Dan doa yang paling afdhol (paling utama) diucapkan pada malam itu adalah: "Ya Allah, sesungguhnya Engkaulah yang Maha Pengampun dan Pemurah serta sangat suka memaafkan. Maka ampunilah kesalahan-kesalahan kami, ya Allah. (Allaahumma innaka 'afuwwun kariim, tuhibbu al-'afwa fa'fu 'annaa yaa kariim).
    Diriwayatkan: barang siapa yang salat Maghrib dan Isya' berjama'ah pada malam Lailatul Qadar itu, maka ia telah mendapatkan sebagian besar keutamaan malam Lailatul Qadar itu. Riwayat yang lain mengatakan, "Siapa yang salat Isya' berjama'ah pada malam Lailatul Qadar itu, seakan-akan ia telah menghidupkan separoh malam tersebut, dan bila ia menunaikan salat Subuhnya, maka ia telah menyempurnakan seluruh malam Lailatur Qadar tersebut.
Itulah beberapa jejek Rasulullah saw. pada bulan Ramadhan, yang pada dasarnya beliau mengajarkan umatnya agar bersungguh-sungguh meraih kebaikan-kebaikan yang ada padanya, dengan berbuat keta'atan, kebaikan, ibadah, terutama ibadah-ibadah sosial, seperti menolong orang lain, meringankan beban hidup orang lain, menyantuni anak yatim dan orang-orang yang papa atau memberi makan orang yang akan berbuka puasa. Di samping itu beliau juga mengajarkan umatnya agar menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan munkar, makruh, dan mubah, apalagi yang haram. Bahkan beliau memperingatkan dengan sabdanya: "Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan keji atau kotor (seperti berdusta, membicarakan orang lain atau mengadu domba), maka tidak ada artinya puasanya itu, kecuali ia hanya merasakan lapar dan dahaga saja."

Demikianlah, semoga Allah swt. menerima dan melipatgandakan amal ibadah kita, dan semoga Allah swt. memberikan kekuatan di dalam menjalankannya. Salawat serta salam kepada Nabi kita Muhammad saw. Walhamdulillahirabbil'aalamiin.

Kemenangan Yang Hakiki 2

Inilah yang dimaksud dengan penegakan supremasi hukum. Hukum bisa berfungsi sebagai pembela hak kaum tertindas dan mencegah kejahatan dan kemungkaran merajalela. Hukum bisa menegakkan keadilan dan tidak diperkosa untuk mewujudkan kepentingan penguasa. Tentunya ini memerlukan sitem yang bersih dan adil, baik dari segi substansi hukumnya maupun aparat penegaknya.

Jelas lah bahwa ayat-ayat tersebut mengisyarakatkan kepada kita bahwa pertolongan Allah akan diberikan kepada mereka yang menolong penegakkan agamaNya. Dan mereka yang berhak mendapatkan pertolongan Allah adalah mereka yang mampu mewujudkan kondisi-kondisi yang tercermin dari sifat-sifat yang dijelaskan ayat tersebut. Sifat-sifat ini tidak lain juga sifat yang harus ditegakkan oleh kaum muslimin dalam setiap kehidupan dalam berbagai kondisinya. Karena hanya dengan menerapkannya insya Allah pertolongan dan kemenangan akan senantiasa diperoleh.

Bulan Ramadan mengajak kita mengenang perang Badr yang terjadi pada tanggal 17 Ramadan tahun kedua hijriyah. Kekuatan umat Islam yang sangat kecil dibandingkan dengan kekuatan kaum musyrik, ternyata tidak menghalangi kemenangan mereka. Ini semua menjadi bukti kebenaran firman Allah bahwa kemenangan tersebut tidak lain adalah dari Allah dan berkat pertolongan Allah. Dan Allah memberikan kemenangan karena mereka begitu patuh kepada ajaran-ajaran-Nya dan petunjuk rasul-Nya.

Tentunya semua uraian di atas, sedikit bisa memberi jawaban akan kebingungan kita dalam melihat fenomena kaum muslimin dewasa ini, dimana kekalahan demi kekalahan diderita oleh kaum muslimin. Kemunduran, kemiskinan, kebodohan serta keterbelakangan peradabannya senantiasa kita lihat menghiasi hampir setiap sudut dunia Islam. Apalagi saat ini, kita umat islam telah kalah lagi tidak bisa memberikan jawaban yang berarti atas tuduhan musuh-musuh kita bahwa umat Islam terkait erat dengan tindakan terorisme dunia.

Spirit bulan Ramadan sebagai "Syahrul Fath" (bulan kemenangan), selayaknya kita gairahkan kembali. Dengan meluruskan kembali diri kita, masyarakat kita dan pemerintahan kita kepada jalan yang alur yang benar, janji kemenangan hakiki dari Allah swt pasti kan tiba. Amin.

Kemenangan Yang Hakiki 1

Marilah kita perhatikan beberapa kemenangan yang diperoleh kaum muslimin dalam rentang sejarang Islam. Allah swt telah memberikan kemenangan kepada kaum muslimin dalam berbagai kesempatan, yaitu perang badar, perang al-Ahzab, saat penaklukan kota Makkah, perang Hunain dan berbagai kesempatan lainnya. Semua kemenangan tersebut tidak lain adalah janji-janji Allah yang diberikan kepada mereka yang beriman, "Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman" (QS. Rum : 47).

Allah memberikan pertolongan dan kemenangan karena kaum muslimin tidak begitu saja, namun tentu dengan alasan yang kuat, yaitu karena mereka berpegang teguh pada agama mereka. "Dan Allah pasti akan menolong orang-orang yang menolong(agama)Nya, sesungguhnya Allah Maha Kuat dan Maha Perkasa. Yaitu orang-orang yang jika Kami teguhkan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma 'ruf dan mencegah kemungkaran, dan kepada Allah lah kembali segala urusan" (Q.S. Al-Haj : 40-41).


Dengan demikian itulah sifat-sifat yang menjadikan orang mukmin berhak mendapatkan pertolongan Allah adalah. Mari kita mencoba mengkaji sifat-sifat tersebut secara lebih rinci:

  1. Orang telah diteguhkan kedudukannya oleh Allah di muka bumi. Mereka adalah orang-orang yang telah menegakkan ibadah kepada Allah dengan sempurna. Allah telah berfirman :"Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal sholeh, bahwa Dia akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridlai-Nya untuk mereka dan Dia benar-benar akan mengganti kondisi mereka setelah dalam ketakutan menjadi rasa aman sentosa, mereka tetap menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan apapun dengan-Ku" (QS. An-Nur : 55). Jika seorang hamba beribadah secara ikhlas kepada Allah dengan perkataan, perbuatan dan keyakinannya, tidak karena harta atau tujuan-tujuan duniawi lainnya, niscaya Allah akan meneguhkannya di muka bumi ini. Dengan demikian seseorang sebenarnya tidak akan memperoleh kedudukan di muka bumi ini di depan Allah sebelum ia menegakkan agama dan ibadah mereka. Inilah yang bisa kita sebut sebagai "institusi sosial yang mapan yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan akhlaqul karimah".
  2. Mereka yang mendirikan salat dengan khusyu' dan benar. Salat tanpa kekhusyu'an layaknya jasad tanpa roh. Kekhusu'an dalam shalat pada zaman sekarang ini menjadi semakin berharga. Hiruk pikuk kehidupan serta bisingnya informasi dan komunikasi, menjadikan hati manusia sering bercabang-cabang. Ini menjadikan kekhusyu'an semakin sulit didapatkan. Maka tepatlah kalau kekhusyu'an dalam mendirakan salat menjadi salah satu sebab pertolongan Allah, karena pada kekhusyu'an ini tercipta komunikasi langsung antara hamba dan Tuhannya.

    Sifat ini menggambarkan kepada "institusi ibadah" yang optimal dalam kehidupan. Ibadah yang tidak saja bernilai ritual namun juga mempunyai nilai yang lebih luas dan mendalam.
  3. Menunaikan zakat untuk membersihkan harta dan diri mereka dengan sekaligus menolong saudara mereka yang kesusahan dan fakir miskin. Dengan berzakat, ketimpangan sosial antara kaum punya dan kaum miskin papa bisa diminimalisir. Dan pada gilirannya penerapan institusi zakat akan mengantarkan kepada perekonomian yang seimbang, stabil dan kokoh, namun bersih dari praktek-praktek aniaya dan riba.

    Tentu yang dimaksudkan Allah dari sifat ini adalah terciptanya sistem perekonomian yang mapan dan bersih, sesuai dengan spirit yang terkandung dalam ibadah zakat.
  4. Mengajak kepada ma'ruf, yaitu kebajikan yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, saling mengkoreksi dan mengingatkan dengan saudaranya demi menegakkan syariat Allah. Dalam sebuah hadis diterangkan, 'Perumpamaan seorang mukmin terhadap saudaranya mukmin lainnya adalah seperti bangunan yang saling topang menopang". Itulah tugas seorang mukmin terhadap saudaranya yang seiman.

    Yang bisa kita ambil dari sifat ini adalah terciptanya tujuan dan orientasi kehidupan kepada hal yang ma'ruf, kebaikan dan kemaslahatan bersama. Orientasi dan tujuan pengembangan kehidupan tidak dieksploitir hanya karena segelintir kepentingan kelompok atau pribadi, namun lebih mengarah kepada upaya mewujudkan konsep "Rahmatan Lil Alamin", kesejahteraan alam semesta.
  5. Mencegah kemungkaran. Mungkar adalah pekerjaan yang dilarang oleh Allah dan rasul-Nya. Mungkar bisa merupakan dosa besar, seperti membunuh dan berzina, ataupun dosa kecil seperti melihat dan mendengar kemaksiatan. Mereka mencegah kemungkaran demi manjaga agama Allah dan melindungi penganutnya dari kerusakan dan kesesatan.

Kedudukan dan Keutamaan Puasa dalam Agama dan Kehidupan 2

Benar, puasa adalah sebaik-baik pendidik bagi manusia melalui hati yang jernih dan ikhlas dalam berbuat, juga melalui kesungguhan, kemantapan dan kuatnya niat. Keutamaan-keutamaan ini, semuanya adalah sumber kebaikan dan dasar dari sifat-sifat terpuji.

Seseorang yang mengekang dirinya sepanjang hari dari kebiasaan-kebiasaannya, seperti makan dan minum, dan dari keinginan-keinginan syahwat-seperti kenikmatan yang dihalalkan oleh Allah pada saat-saat selain puasa-, maka barangsiapa mengekang dirinya dari hal-hal halal semacam ini karena ketaatan kepada Allah, mematuhi hukum-hukum Allah, dan bermaksud untuk memperoleh ridha-Nya, tak syak lagi, ia akan mampu menahan dirinya dari hal-hal yang haram. Juga akan mampu menahan dirinya dari segala sesuatu yang dimurkai Allah.

Begitu pula perilakunya dalam masyarakat dan hubungannya dengan orang lain akan dijalani dengan penuh kejujuran, amanat, mentaati kesepakatan, menepati janji, tak berdusta dan tak suka bertengkar. Ia juga tak akan menipu, dan tiada berkhianat. Bahkan atas nama agama dan kehormatannya ia akan menjauhkan diri dari segala bentuk kemungkaran dan perilaku kotor, juga segala sesuatu yang dapat menghilangkan kehormatan, kemulian, dan keluhuran cita-citanya.

Inilah manfaat-manfaat puasa bagi manusia dengan kesehatan tubuh dan jasad mereka. Puasa baginya adalah pemelihara, penjaga kekuatan, pembersih organ-organ tubuh dari pengaruh cairan-cairan yang berbahaya-diungkapkan oleh paramedis bahwa ada cairan-cairan di dalam tubuh yang dapat menyebabkan kelainan dan penyakit.

Kedudukan dan Keutamaan Puasa dalam Agama dan Kehidupan 1



Puasa termasuk salah satu ajaran terpenting Islam. Rasulullah saw. menegaskan bahwa puasa merupakan salah satu dari lima rukun Islam yang menjadi pilar agama ini. Nabi saw. bersabda: "Islam dibangun di atas lima pilar: Kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya, mendirikan salat, membayar zakat, puasa Ramadan, dan haji ke Baitullah bagi yang mampu menempuh perjalanannya".

Karena pentingnya puasa, tingginya kedudukan, dan besarnya manfaat bagi jasmani dan mental itulah Allah mewajibkan puasa kepada manusia melalui ajaran Islam. Juga, melalui ajaran-ajaran samawi terdahulu, sebelum Islam. Sebagaimana firman Allah 'Azza wa Jalla:

"Hai orang-orang beriman! Puasa diwajibkan atasmu sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelummu, agar kamu menjadi orang yang bertakwa" (QS. al-Baqarah/2: 183).

Puasa merupakan penyucian jiwa, peninggian spirit; mengajarkan kepada manusia bagaimana mengangkat diri dari derajat hewan yang kebutuhannya hanya memenuhi perut; makan dan minum, mengajarkan kepada manusia bagaimana meninggikan diri mereka sampai ke derajat para malaikat yang menjadikan kedekatan kepada Allah, ibadah, dan takwa kepada-Nya sebagai makanan bagi ruh mereka. Puasa mendidik untuk membiasakan sifat sabar, mengekang hawa nafsu, membiasakan untuk menanggung beban berat, dan tabah dalam menghadapi liku-liku kehidupan.

Puasa menumbuhkan keutamaan sifat amanah dan ikhlas dalam berbuat; beribadah hanya karena Allah, bukan karena mengharapkan pujian dan mencari muka.

Puasa merupakan penjernihan jiwa dari noda-noda dunia dan godaan-godaannya; puasa merupakan pembebas jiwa dari jeratan kenikmatan dan keasyikan rendah dunia. Sehingga, melimpahnya materi tak akan mendominasi dan menguasai perilaku manusia dalam kehidupan ini. Bahkan perilaku terpuji dan daya spiritual luhurlah yang akan mendominasi kehidupan ini. Dengan hal itu, terwujud lah persaudaraan dan kecintaan manusia, juga terealisasi kerjasama antara individu dan masyarakat-suatu hal yang tak ditemukan pada kehidupan materialistis yang didengungkan bangsa-bangsa dunia saat ini, karena pengenyampingannya terhadap sisi spiritual-dan darinya lah diperoleh kemauan untuk hidup damai, aman, saling kerjasama dan mencinta.

Inilah spiritual tinggi, dan inilah kebijaksanaan-kebijakasanaan yang mengagumkan. Itulah sebagian keistimewaan dan buah puasa. Hal ini telah tunjukkan oleh al-Qur`an dalam ayat puasa dengan firman-Nya: "... agar kamu menjadi orang yang bertakwa" (QS. al-Baqarah/2:183). Nabi saw juga menunjukkan hal senada dalam sabdanya: "Puasa adalah benteng". Puasa membangkitkan kekuatan hati, ketakwaan hati, juga ketundukan kepada Allah semata. Puasa memadamkan beban-beban jiwa, semisal dengki, dendam, egois, angkuh dan sombong, dan menjaga jiwa dari tergelincir bersama hawa nafsu, dari kecenderungan memaksa dan sewenang-wenang, juga melindungi jiwa dari kekejian, tindakan amoral dan asusila.

ADAB-ADAB PUASA RAMADHAN


1. Berbuka apabila sudah masuk waktu Maghrib.
Sunnah berbuka adalah sbb :
a. Disegerakan yakni sebelum melaksanakan shalat Maghrib dengan makanan yang ringan seperti rutob (kurma muda), kurma dan air saja, setelah itu baru melaksanakan shalat.
b. Tetapi apabila makan malam sudah dihidangkan, maka terus dimakan, jangan shalat dahulu.
c. Setelah berbuka berdo'a dengan do'a sbb : Artinya : "Telah hilang rasa haus, dan menjadi basah semua urat-urat dan pahala tetap wujud insya Allah."

2. Makan sahur. Adab-adab sahur :
a. Dilambatkan sampai akhir malam mendekati Shubuh.
b. Apabila pada tengah makan atau minum sahur lalu mendengar adzan Shubuh, maka sahur boleh diteruskan sampai selesai, tidak perlu dihentikan di tengah sahur karena sudah masuk waktu Shubuh.

3. Lebih bersifat dermawan (banyak memberi, banyak bershadaqah, banyak menolong) dan banyak membaca al-qur'an
4. Menegakkan shalat malam/shalat Tarawih dengan berjama'ah. Dan shalat Tarawih ini lebih digiatkan lagi pada sepuluh malam terakhir (20 hb. sampai akhir Ramadhan). Cara shalat Tarawih adalah :
a. Dengan berjama'ah.
b. Salam tiap dua raka'at dikerjakan empat atau 10 kali, atau salam tiap empat raka'at dikerjakan dua kali dan ditutup dengan witir tiga raka'at.
c. Dibuka dengan dua raka'at yang ringan.
d. Bacaan dalam witir : Raka'at pertama : Sabihisma Rabbika. Roka't kedua : Qul yaa ayyuhal kafirun. Raka'at ketiga : Qulhuwallahu ahad.
e. Membaca do'a qunut dalam shalat witir.

5. Berusaha menepati lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir, terutama pada malam-malam ganjil. Bila dirasakan menepati lailatul qadar hendaklah lebih giat beribadah dan membaca : Yaa Allah Engkaulah pengampun, suka kepada pengampunan maka ampunilah aku.
6. Mengerjakan i'tikaf pada sepuluh malam terakhir.
7. Menjauhi perkataan dan perbuatan keji dan menjauhi pertengkaran.

KEUTAMAAN BULAN RAMADHAN DAN KEUTAMAAN BERAMAL DIDALAMNYA



1. Bulan Ramadhan adalah:
a. Bulan yang penuh Barakah.
b. Pada bulan ini pintu Jannah dibuka dan pintu neraka ditutup.
c. Pada bulan ini Setan-Setan dibelenggu.
d. Dalam bulan ini ada satu malam yang keutamaan beramal didalamnya lebih baik daripada beramal seribu bulan di bulan lain, yakni malam LAILATUL QADR.
e. Pada bulan ini setiap hari ada malaikat yang menyeru menasehati siapa yang berbuat baik agar bergembira dan yang berbuat ma'shiyat agar menahan diri.

2. Keutamaan beramal di bulan Ramadhan antara lain :

a. Amal itu dapat menutup dosa-dosa kecil antara setelah Ramadhan yang lewat sampai dengan Ramadhan berikutnya.
b. Menjadikan bulan Ramadhan memintakan syafaa't.
c. Khusus bagi yang puasa disediakan pintu khusus yang bernama Rayyaan untuk memasuki Jannah.

MASYRU'IYAT PUASA RAMADHAN


"Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu sekalian puasa, sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu sekalian bertaqwa "( QS Al-Baqarah : 183 ).
1. Puasa Ramadhan hukumnya Fardu `Ain
2. Puasa Ramadhan disyari'atkan bertujuan untuk menyempurnakan ketaqwaan

FALSAFAH PUASA 2

Dan kehidupan itu mencapai suatu tahap paripurna manakala manusia memiliki kesamaan rasa, atau manusia "turut merasakan" bersama, bukan sebaliknya. Manusia mencapai derajat kesempurnaan (insan kamil) tatkala turut merasakan sensitifitas satu rasa sakit, bukan turut berebut melampiaskan segala macam hawa nafsu. Dari sini puasa memiliki multifungsi. Setidaknya ada tiga fungsi puasa: tazhib, ta'dib dan tadrib. Puasa adalah sarana untuk mengarahkan (tahzib), membentuk karakteristik jiwa seseorang (ta'dib), serta medium latihan untuk berupaya menjadi manusia yang kamil dan paripurna (tadrib), yang pada esensinya bermuara pada tujuan akhir puasa: takwa. Takwa dalam pengertian yang lebih umum adalah melaksanakan segala perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya. Takwa dan kesalehan sosial adalah dua wajah dari satu keping mata uang yang sama, mengintegral dan tak dapat dipisahkan. Ada sejenis kaidah jiwa, bahwasanya "cinta" timbul dari rasa sakit. Di sinilah letak rahasia besar sosial dari hikmah berpuasa.
Dengan jelas dan akurat, Islam melarang keras segala bentuk makanan, minuman, aktivitas seks, penyakit hati dan ucapan merasuki perut dan jiwa orang yang berpuasa. Dari lapar dan dahaga, betapa kita dapat merasakan mereka yang berada di garis kemiskinan, manusia papa yang berada di kolong jembatan, atau kaum tunawisma yang kerap berselimutkan dingin di malam hari atau terbakar terik matahari di siang hari. Ini adalah suatu sistem, cara praktis melatih kasih sayang jiwa dan nurani manusia. Adakah cara yang paling efektif untuk melatih cinta? Bukankah kita tahu bahwa selalu ada dua sistem yang saling terkait: yang melihat dan yang buta, yang cendikia dan yang awam, serta yang teratur dan yang mengejutkan. Jika cinta antara orang kaya yang lapar terhadap orang miskin yang lapar tercipta, maka untaian hikmah kemanusiaan di dalam diri menemukan kekuasaannya sebagai "sang mesias", juru selamat. Orang yang berpunya dan hatinya selalu diasah dengan puasa, maka telinga jiwanya mendengar suara sang fakir yang merintih. Ia tidak serta merta mendengar itu sebagai suara mohon pengharapan, melainkan permohonan akan sesuatu hal yang tidak ada jalan lain untuk disambut, direngkuh dan direspon akan makna tangisannya itu. Orang berpunya akan memaknai itu semua atas pengabdian yang tulus, iimaanan wa ihtisaaban. Semua karena Allah, karena hanya Dia Sang pemilik segalanya. * Dewan Eksekutif Sanggar Kinanah, sedang menempuh S1 al-Azhar university, jurusan Akidah dan Filsafat, Kairo. Bibliografi: 1. Al-Quran al-Karim, Departemen Agama. 2. Musthafa Shadiq al-Rafi'ie, wahy al-Qalam, Jilid II, maktabah al-Adab, 1936, Kairo. 3.
Muhammad Ali al-Shobuni, Rowa'i al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam,

FALSAFAH PUASA 1

Ternyata bukan hanya umat Muhammad yang berpuasa. Sejarah mencatat, sebelum kedatangan Muhammad, umat Nabi yang lain diwajibkan berpuasa. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, sejak Nabi Nuh hingga Nabi Isa puasa wajib dilakukan tiga hari setiap bulannya. Bahkan, nabi Adam alaihissalam diperintahkan untuk tidak memakan buah khuldi, yang ditafsirkan sebagai bentuk puasa pada masa itu. "Janganlah kamu mendekati pohon ini yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim". (Al-Baqarah: 35).
Ternyata bukan hanya umat Muhammad yang berpuasa. Sejarah mencatat, sebelum kedatangan Muhammad, umat Nabi yang lain diwajibkan berpuasa. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, sejak Nabi Nuh hingga Nabi Isa puasa wajib dilakukan tiga hari setiap bulannya. Bahkan, nabi Adam alaihissalam diperintahkan untuk tidak memakan buah khuldi, yang ditafsirkan sebagai bentuk puasa pada masa itu. "Janganlah kamu mendekati pohon ini yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim". (Al-Baqarah: 35). Begitu pula nabi Musa bersama kaumnya berpuasa empat puluh hari.Nabi Isa pun berpuasa. Dalam Surah Maryam dinyatakan Nabi Zakaria dan Maryam sering mengamalkan puasa. Nabi Daud alaihissalam sehari berpuasa dan sehari berbuka pada tiap tahunnya. Nabi Muhammad saw.sendirisebelumdiangkat menjadi Rasul telah mengamalkan puasa tiga hari setiap bulan dan turut mengamalkan puasa Asyura yang jatuh pada hari ke 10 bulan Muharram bersama masyarakat Quraisy yang lain.
Malah masyarakat Yahudi yang tinggal di Madinah pada masa itu turut mengamalkan puasa Asyura. Begitu pula, binatang dan tumbuh-tumbuhan melakukan puasa demi kelangsungan hidupnya. Selama mengerami telur, ayam harus berpuasa. Demikian pula ular, berpuasa baginya untuk menjaga struktur kulitnya agar tetap keras terlindung dari sengatan matahari dan duri hingga ia tetap mampu melata di bumi. Ulat-ulat pemakan daun pun berpuasa, jika tidak ia tak kan lagi menjadi kupu-kupu dan menyerbuk bunga-bunga. Jika berpuasa merupakan sunnah thobi'iyyah (sunnah kehidupan) sebagai langkah untuk tetap survive, mengapa manusia tidak? Terlebih lagi jika kewajiban puasa diembankan kepada umat Islam, tentu saja memikili makna filosofis dan hikmah tersendiri. Karena, ternyata puasa bukan hanya menahan dari segala sesuatu yang merugikan diri sendiri atau orang lain, melainkan merefleksikan diri untuk turut hidup berdampingan dengan orang lain secara harmonis, memusnahkan kecemburuan sosial serta melibatkan diri dengan sikap tepa selira dengan menjalin hidup dalam kebersamaan, serta melatih diri untuk selalu peka terhadap lingkungan.
Rahasia-rahasia tersebut ternyata ada pada kalimat terakhir yang teramat singkat pada ayat 183 surah al-Baqarah. Allah swt memerintahkan: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa". (QS. Al-Baqarah:183). Allah swt mengakhiri ayat tersebut dengan "agar kalian bertakwa". Syekh Musthafa Shodiq al-Rafi'ie (w. 1356 H/1937 M) dalam bukunya wahy al-Qalam mentakwil kata "takwa" dengan ittiqa, yakni memproteksi diri dari segala bentuk nafsu kebinatangan yang menganggap perut besar sebagai agama, dan menjaga humanisme dan kodrati manusia dari perilaku layaknya binatang.
Dengan puasa, manusia dapat menghindari diri dari bentuk yang merugikan diri sendiri dan orang lain, sekarang atau nanti. Generasi kini atau esok. Dalam ibadah puasa, Islam memandang sama derajat manusia. Mereka yang memiliki dolar, atau yang mempunyai sedikit rupiah, atau orang yang tak memiliki sepeserpun, tetap merasakan hal yang sama: lapar dan haus. Jika sholat mampu menghapus citra arogansi individual manusia diwajibkan bagi insan muslim, haji dapat mengikis perbedaan status sosial dan derajat umat manusia diwajibkan bagi yang mampu, maka puasa adalah kefakiran total insan bertakwa yang bertujuan mengetuk sensitifitas manusia dengan metode amaliah (praktis), bahwasanya kehidupan yang benar berada di balik kehidupan itu sendiri.

Menggali Cinta dengan Puasa 2

Mazhab sosialisme yang mengalami masa kolapnya di Eropa, tak mampu mengubah, menambah dan mengurangi jatah perut pengikutnya. Mereka, para sosialisme yang dianggap sebagai "mazhab buku" tak pelak lagi memandang puasa sebagai "satu-satunya sistem sosialis yang paling unik dan justeru paling benar"! Bagaimana tidak, puasa adalah kefakiran secara 'paksa' yang ditentukan oleh syariat agama kepada seluruh umat (Islam) tanpa pandang bulu. Islam memandang sama derajat manusia, terutama soal "perut". Mereka yang memiliki dolar, atau yang mempunyai sedikit rupiah, atau orang yang tak memiliki sepeserpun, tetap merasakan hal yang sama: lapar dan haus. Jika sholat mampu menghapus citra arogansi individual manusia diwajibkan bagi insan muslim, haji dapat mengikis perbedaan status sosial dan derajat umat manusia diwajibkan bagi yang mampu, maka puasa adalah kefakiran total insan bertakwa yang bertujuan mengetuk sensitifitas manusia dengan metode amaliah (praktis), bahwasanya kehidupan yang benar berada di balik kehidupan itu sendiri. Dan kehidupan itu mencapai suatu tahap paripurna manakala manusia memiliki kesamaan rasa, atau manusia "turut merasakan" bersama, bukan sebaliknya. Manusia mencapai derajat kesempurnaan (insan kamil) tatkala turut merasakan sensitifitas satu rasa sakit, bukan turut berebut melampiaskan segala macam hawa nafsu. Dari sini puasa memiliki multifungsi.

Setidaknya ada tiga fungsi puasa: tazhib, ta'dib dan tadrib. Puasa adalah sarana untuk mengarahkan (tahzib), membentuk karakteristik jiwa (ta'dib), serta medium latihan untuk berupaya menjadi manusia yang kamil dan paripurna (tadrib), yang pada esensinya bermuara pada tujuan akhir puasa: takwa. Takwa dalam pengertian yang lebih umum adalah melaksanakan segala perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya. Takwa dan kesalehan sosial adalah dua wajah dari satu keping mata uang yang sama, mengintegral dan tak dapat dipisahkan.

Ada sejenis kaidah jiwa, bahwasanya "cinta" timbul dari rasa sakit. Di sinilah letak rahasia besar sosial dari hikmah berpuasa. Dengan jelas dan akurat, Islam melarang keras segala bentuk makanan, minuman, aktivitas seks, penyakit hati dan ucapan merasuki perut dan jiwa orang yang berpuasa. Dari lapar dan dahaga, betapa kita dapat merasakan mereka yang berada di garis kemiskinan, manusia papa yang berada di kolong jembatan, atau kaum tunawisma yang kerap berselimutkan dingin di malam hari atau terbakar terik matahari di siang hari. Ini adalah suatu sistem, cara praktis melatih kasih sayang jiwa dan nurani manusia.

Adakah cara yang paling efektif untuk melatih cinta? Bukankah kita tahu bahwa selalu ada dua sistem yang saling terkait: yang melihat dan yang buta, yang cendikia dan yang awam, serta yang teratur dan yang mengejutkan. Jika cinta antara orang kaya yang lapar terhadap orang miskin yang lapar tercipta, maka untaian hikmah kemanusiaan di dalam diri menemukan kekuasaannya sebagai "sang mesias", juru selamat. Orang yang berpunya dan hatinya selalu diasah dengan puasa, maka telinga jiwanya mendengar suara sang fakir yang merintih. Ia tidak serta merta mendengar itu sebagai suara mohon pengharapan, melainkan permohonan akan sesuatu hal yang tidak ada jalan lain untuk disambut, direngkuh dan direspon akan makna tangisannya itu. Orang berpunya akan memaknai itu semua atas pengabdian yang tulus, iimaanan wa ihtisaaban. Semua karena Allah, karena hanya Dia Sang pemilik segala.

Menggali Cinta dengan Puasa 1

Begitu pula, binatang dan tumbuh-tumbuhan melakukan puasa demi kelangsungan hidupnya. Selama mengerami telur, ayam harus berpuasa. Demikian pula ular, berpuasa baginya untuk menjaga struktur kulitnya agar tetap keras terlindung dari sengatan matahari dan duri hingga ia tetap mampu melata di bumi. Ulat-ulat pemakan daun pun berpuasa, jika tidak ia tak kan lagi menjadi kupu-kupu dan menyerbuk bunga-bunga.
Ternyata bukan hanya umat Muhammad yang berpuasa. Sejarah mencatat, sebelum kedatangan Muhammad, umat Nabi yang lain diwajibkan berpuasa. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, sejak Nabi Nuh hingga Nabi Isa puasa wajib dilakukan tiga hari setiap bulannya. Bahkan, nabi Adam alaihissalam diperintahkan untuk tidak memakan buah khuldi, yang ditafsirkan sebagai bentuk puasa pada masa itu. "Janganlah kamu mendekati pohon ini yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim". (Al-Baqarah: 35).

Begitu pula nabi Musa bersama kaumnya berpuasa empat puluh hari. Nabi Isa pun berpuasa. Dalam Surah Maryam dinyatakan Nabi Zakaria dan Maryam sering mengamalkan puasa. Nabi Daud alaihissalam sehari berpuasa dan sehari berbuka pada tiap tahunnya. Nabi Muhammad saw. Sendiri sebelum diangkat menjadi Rasul telah mengamalkan puasa tiga hari setiap bulan dan turut mengamalkan puasa Asyura yang jatuh pada hari ke 10 bulan Muharram bersama masyarakat Quraisy yang lain. Malah masyarakat Yahudi yang tinggal di Madinah pada masa itu turut mengamalkan puasa Asyura.

Begitu pula, binatang dan tumbuh-tumbuhan melakukan puasa demi kelangsungan hidupnya. Selama mengerami telur, ayam harus berpuasa. Demikian pula ular, berpuasa baginya untuk menjaga struktur kulitnya agar tetap keras terlindung dari sengatan matahari dan duri hingga ia tetap mampu melata di bumi. Ulat-ulat pemakan daun pun berpuasa, jika tidak ia tak kan lagi menjadi kupu-kupu dan menyerbuk bunga-bunga. Jika berpuasa merupakan sunnah thobi'iyyah (sunnah kehidupan) sebagai langkah untuk tetap survive, mengapa manusia tidak? Terlebih lagi jika kewajiban puasa diembankan kepada umat Islam, tentu saja memikili makna filosofis dan hikmah tersendiri. Karena, ternyata puasa bukan hanya menahan dari segala sesuatu yang merugikan diri sendiri atau orang lain, melainkan merefleksikan diri untuk turut hidup berdampingan dengan orang lain secara harmonis, memusnahkan kecemburuan sosial serta melibatkan diri dengan sikap tepa selira dengan menjalin hidup dalam kebersamaan, serta melatih diri untuk selalu peka terhadap lingkungan.

Rahasia-rahasia tersebut ternyata ada pada kalimat terakhir yang teramat singkat pada ayat 183 surah al-Baqarah. Allah swt memerintahkan: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa". (QS. Al-Baqarah: 183). Allah swt mengakhiri ayat tersebut dengan "agar kalian bertakwa". Syekh Musthafa Shodiq al-Rafi'ie (w. 1356 H/1937 M) dalam bukunya wahy al-Qalam mentakwil kata "takwa" dengan ittiqa, yakni memproteksi diri dari segala bentuk nafsu kebinatangan yang menganggap perut besar sebagai agama, dan menjaga humanisme dan kodrat manusia dari perilaku layaknya binatang. Dengan puasa, manusia dapat menghindari diri dari bentuk yang merugikan diri sendiri dan orang lain, sekarang atau nanti. Generasi kini atau esok.

MAKNA AL-QUR'AN 2

Dengan menggabungkan antara arti bacaan dan himpunan atau kumpulan, dalam menelusuri makna kalimat Al-Qur'an, bisa dapatakan titik temu, bahwa ketika seorang membaca Al-Qur'an, ia telah mengumpulkan huruf-huruf kalimat dalam suatu rangkaian yang utuh, lalu melafalkannya dengan lisanya, dalam bentuk kalimat atau kata yang sempurna, sehingga enak didengarnya, nampak menjadi sebuah bangunan yang kuat saling mendukung, tak tergoyahkan. Dari membaca akan lahir pemahaman. Dari pemahaman akan lahir amal. Dengan demikian peranan nampak bahwa membaca merupakan urutan pertama dalam membangun ilmu pengetahuan, dan selanjutnya untuk membangun sebuah peradaban. Allah SWT, Maha tahu akan hakikat ini. Karenanya yang pertama kali diturunkan adalah surat Al-Alaq, yang dimulai dengan kata " iqra' ", perintah untuk membaca. Rasulullah SAW, pada waktu itu memang tidak bisa mebaca dan menulis. Karenanya disebut Ummi.
Lalu kalau direnungkan secara mendalam ayat-ayat yang pertama kali diturunkan itu, akan ditemukan bahwa ada dua perintah iqra' : Pertama, " iqra' bismirabbikalladzi khalaq " bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan ). Kedua, iqra' warabbukal akram ( bacalah dan tuhanmulah yang paling Pemurah ). Maksudnya bahwa kegiatan membaca harus tegak di atas keikhlasan kepada Allah semata, kejujuran untuk membesarkanNya, menyebarkan ajaranNya, dan memberikan pemahaman yang benar terhadap manusia, sehingga dengannya manusia mendapatkan kebahagiaan yang hakiki di dunia dan akhirat.
Dr. Amir Faishol Fath.

MAKNA AL-QUR'AN 1

Dengan menggabungkan antara arti bacaan dan himpunan atau kumpulan, dalam menelusuri makna kalimat Al-Qur'an, bisa dapatakan titik temu, bahwa ketika seorang membaca Al-Qur'an, ia telah mengumpulkan huruf-huruf kalimat dalam suatu rangkaian yang utuh, lalu melafalkannya dengan lisanya, dalam bentuk kalimat atau kata yang sempurna, sehingga enak didengarnya, nampak menjadi sebuah bangunan yang kuat saling mendukung, tak tergoyahkan. Dari membaca akan lahir pemahaman. Dari pemahaman akan lahir amal. Dengan demikian peranan nampak bahwa membaca merupakan urutan pertama dalam membangun ilmu pengetahuan, dan selanjutnya untuk membangun sebuah peradaban.
Pengajian Ramadhan :
MAKNA AL-QUR'AN Apa arti kalimat Al-Qur'an? Apa asal katanya ? Adakah Al Qur'an sendiri telah menyebutkan dirinya dengan nama Al Qur'an ? Di dalam Al Qur'an pernyataan nama ini, bisa ditemukan di banyak tempat. Tapi bukan maksudnya di sini untuk mengkalkulasi semua ayat yang terdapat didalamnya kalimat Al-Qur'an. Cukuplah dengan menyebutkan beberapa contoh, sebagai bukti : Dalam (QS:7:204) : " Dan apabila dibacakan Al Qur'an maka dengarlah dan perhatikalah ". Dalam (QS:15:87) : " Dan sesungguhnya Kami telah berikan kapadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang, dan Al-Qur'an yang agung ". Dalam (QS:56:77) : " Sesungguhnya Al-Qur'an ini bacaan yang sangat mulya ". Dalam (QS:85:21) : " Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al-Qur'an yag mulya".
Bila kata Al Qur'an, merupakan masdar (infinitif) dari kata " qara'a " yang berarti membaca, maka artinya " bacaan ". Allah berfirman : ( innaa 'alainaa jam'ahu waqur'anah ), Qur'anah di sini berarti qira'atuhu yakni mebacanya. Dalam konteks ini, membaca bisa dimaksudkan untuk diri sendiri. Seperti yang terdapat dalam (QS:16:98) : " Maka apabila kamu membaca Al-Qur'an hendaknya kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syetan yang terkutuk ". Atau membaca untuk orang lain, seperti yang terdapat dalam (QS:17:106) : " Dan Al-Qur'an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu mebacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian ".
Dr. Shalah Al Khalidi, seorang ahli dalam ilmu-ilmu Al-Qur'an kontemporer, menyebutkan bahwa Al-Qur'an dengan makna bacaan, itu lebih kuat, berdasarkan dalil-dalil yang disebutkan di atas. ( lihat Hadzal Qur'an, oleh Dr Shalah Al-Khalidi, Darul Manar, Oman, 1993, hal:19 ). Rahasia penamaan Al-Qur'an dengan arti bacaan, adalah karena membaca Al-Qur'an merupakan ibadah. Dari An Nu'man bin Basyir ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda : " Yang paling utama dari ibadah umatku adalah membaca Al-Qur'an ". (HR:Albaihaqi dalam kitab Syu'abul Iman). Hadits ini sekalipun dha'if, tapi dikuatkan oleh hadits sahih diriwayatkan Imam Muslim, dari Abu Umamah Al Bahili ra. Ia berkata : Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda : bacalah Al-Qur'an, karena ia pada hari kiamat nanti akan datang untuk memberikan syafaat kepada para pembacanya ". ( Sahih Muslim, Daru Ihya'u trutats Al Arabi, Bairut, Jilid:I, hl:553, Hadits:804).
Bila kata Al-Qur'an berasal dari kata " qara'a " denga makna menghimpun atau mengumpulkan, ini juga terdapat dalam (QS:2:228) dengan kata " quru' ". Allah berfirman : " Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri ( menunggu ) tiga kali quru' ". Sekalipun para ulama fikih berbeda pendapat dalam maksud " quru " di sini, apakah, maksudnya " tiga kali haid " atau " tiga kali suci ", tapi mereka bersepakat bahwa menyebut kondisi haid atau kondisi suci dengan istilah quru', dimaksudkan agar wanita menyelesaikan iddahnya dengan mengumpulkan semua kondisi itu sampai selesai.

Menjaga kebersihan hati.


Hati adalah sumber dari segala-galanya dalam hidup kita, agar kehidupan kita baik dan benar, maka kita perlu menjaga kebersihan hati kita. Jangan sampai hati kita kita kotori dengan hal-hal yang dapat merusak kehidupan kita apalagi sampai merusak kebahagiaan hidup kita di dunia ini dan di akherat nanti. Untuk menjaga kebersihan hati maka kita juga perlu untuk menjaga penglihatan, pendengaran, pikiran, ucapan kita dari hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT. Dengan menjaga hal-hal tersebut kita dapat menjaga kebersihan hati kita. Dengan hati yang besih kita gapai kebahagiaan dunia dan akherat. Di bulan suci ini mari kita bersihkan hati kita dari segala kotorannya dengan memperbanyak mendekatkan diri kepada Allah SWT dan memperbanyak doأ، agar Allah SWT menganugrahkan kepada kita semua hati yang bersih dan selalu dekat denganNya. Itulah beberapa hal yang mungkin dapat kita jadikan landasan untuk mencari kebahagiaan hidup di dunia ini dan juga sebagai bekal untuk menghadapi kehidupan akherat nanti. Mudah-mudahan Allah SWT memberi kita kekuatan untuk bisa melaksanakannya sehingga kita bisa menjadi hambaNya yang bertaqwa.
Amiin. Walahu a'lamu bisshawab

Ilmu dan Dzikir.


idak diragukan lagi bahwa ilmu adalah salah satu faktor terpenting untuk menggapai kebahagiaan di dunia dan di akherat kelak sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang artinya: Barang siapa yang menginginkan dunia hendaklah dengan ilmu dan barang siapa yang menginginkan akherat maka hendaklah dengan ilmu dan barang siapa yang menginginkan keduanya maka hendaklah dengan ilmu. Perlu digarisbawahi disini, bahwa ilmu yang dimaksud disini adalah ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang dapat mendekatkan diri kita kepada Allah SWT.
Apakah semua ilmu masuk dalam kategori ini? Itu semua kembali kepada pribadi yang memiliki ilmu tersebut. Pada hakekatnya semua ilmu bermanfaat bagi kita dan semuanya bisa mendekatkan diri kita kepada Allah SWT. Yang terpenting adalah bagaimana kita memotivasi diri kita untuk selalu belajar dan belajar agar mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan bisa mendekatkan diri kita kepada Allah SWT.
Demikian juga halnya dengan dzikir, dzikir adalah pekerjaan hati, dzikir adalah dengan selalu mengingat Allah SWT setiap saat dan dalam semua kondisi kita. Dzikir merupakan unsur penting untuk menggapai kebahagiaan dan ketenangan hati sebagai firman Allah SWT yang artinya: Ingatlah! Dengan mengingat Allah SWT hati akan tenang. Dengan mengingat Allah SWT maka Allah SWT juga akan selalu bersama kita dengan demikian pertolongan dan rahmat Allah SWT juga akan selalu tercurahkan kepada kita.
Bulan suci Ramadhan ini merupakan kesempatan bagi kita untuk meningkatkan volume dzikir kita kepada Allah SWT untuk kita teruskan nantinya diluar bulan Ramadhan. Dengan memperkaya diri dengan ilmu pengetahuan dan memperbanyak mengingat Allah SWT kita gapai kebahagiaan di dunia dan akherat. Menghormati sesama muslim. Menghormati sesama manusia apalagi sesama muslim merupakan kewajiban bagi setiap individu. Dengan adanya saling menghormati diantara muslim maka akan terjadi hubungan yang baik diantara sesama kaum muslimin dan ini merupakan langkah awal untuk menciptakan rasa damai dan aman di muka bumi.
Apabila hubungan kita sesama muslim baik dan benar, maka akan baik dan benar pula hubungan kita dengan Allah SWT, dengan demikian Allah SWT akan ridho dengan kita. Keridhoan Allah merupakan kunci kesuksesan hidup baik di dunia maupun di akherat. Di bulan suci Ramadhan ini kita berusaha untuk memperbaiki hubungan kita dengan sesama muslim dengan menghilangkan rasa dendam, iri, dengki, hasud dan permusuhan diantara ummat Islam dan kita berusaha untuk memperbaiki hubungan antar sesama kita sehingga hubungan baik dengan Allah SWT juga bisa kita raih. Memperbaiki niat. Niat merupakan pokok dari segala pekerjaan, untuk itu sebelum kita melangkah kita perlu memperbaiki niat kita agar amal dan pekerjaan kita tidak sia-sia belaka. Sudah merupakan kewajiban bagi seorang muslim untuk meniatkan semua yang ia lakukan untuk Allah SWT semata.
Dengan demikian semua pekerjaan kita akan bernilai ibadah di hadapan Allah SWT dan Allah SWT akan memberinya balasan dan pahala sebagai bekal bagi kita untuk menempuh kehidupan di akherat nanti. Dengan niat yang Ikhlas untuk Allah SWT dalam segala pekerjaan berarti kita telah menginvestasikan saham untuk kebahagiaan di akherat nanti. Berdakwah. Berdakwah atau mengajak orang lain untuk berbuat baik dan beibadah kepada Allah SWT merupakan salah satu kewajiban bagi seluruh ummat Islam. Ini merupakan tugas mulia yang harus diemban bagi setiap hamba Allah SWT. Berdakwah tidak hanya dengan cara memberikan ceramah di hadapan orang banyak, banyak cara bisa kita lakukan dalam rangka berdakwah. Berdakwah bisa melalui tulisan bahkan berdakwah dapat kita lakukan dengan memberi contoh yang baik kepada orang lain dan inilah yang disebut dengan dakwah bilhal. Dakwah dan mengajak orang lain untuk berbuat baik adalah tanggung jawab setiap muslim sebagai khalifah Allah di muka bumi ini.

KEBAHAGIAAN DUNIA AKHERAT 2

Di bulan suci ini hendaknya kita kembali melihat dan mengevaluasi sejauh mana keimanan kita kepada Allah SWT telah kita tanamkan dalam hati kita. Sudahkah kita betul-betul percaya kepada Allah SWT dan tidak menggantungkan kepada selainNya? Diantara bukti bahwa kita benar-benar beriman kepada Allah SWT adalah tidak adanya kesangsian atau keraguan kita kepada Allah SWT atas apa yang ditetapkan oleh Allah SWT kepada kita, baik berupa kebaikan ataupun sebaliknya. Kita percaya penuh bahwa semua itu merupakan kebaikan yang diberikanNya kepada kita dan dibalik itu semua mengandung hikmah dan pelajaran. Tidak ada rasa pesimis dalam menghadapi kehidupan ini dan semuanya kita hadapi dengan penuh keoptimisan dan keyakinan kepada Allah SWT. Ciri lain adalah adanya keinginan kuat dalam diri kita untuk meneladani Rasulullah SAW dalam segala aspek kehidupan, baik kehidupan kita sendiri, keluarga maupun masyarakat kita. Karena Rasulullah SAW merupakan utusan yang dikirim oleh Allah SAW untuk menuntun seluruh manusia agar selalu berada dalam garis-garis yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.
Dua ciri diatas merupakan konsekuensi dari syahadatain yang telah diikrarkan oleh setiap muslim yaitu pengakuan bahwa tiada tuhan selain Allah SWT dan Muhammad adalah utusan Allah SWT dan dua ciri tersebut juga merupakan hakekat dari pengakuan tersebut. Di bulan suci Ramadhan ini kita berharap dan berdoa agar Allah SWT memberi kita hakekat syahadatain sehingga kita benar-benar mengimani Allah SWT dan dapat melaksanakan semua tuntunan yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Meningkatkan mutu dan kualitas shalat kita.
Bulan suci Ramadhan merupakan waktu yang sangat tepat bagi kita untuk meningkatkan mutu dan kualitas shalat kita. Karena pada bulan suci ini kita dinjurkan untuk memperbanyak ibadah dan diantaranya adalah shalat. Standar shalat yang kita harapkan adalah shalatnya para sahabat dan para hamba-hamba Allah SWT yang sholeh, karena untuk mencapai shalatnya Nabi sulit bagi kita. Kita berusaha sekuat tenaga untuk memperbaiki shalat kita sehingga shalat tersebut tidak hanya berupa gerakan fisik tetapi memiliki bekas dan pengaruh bagi kehidupan kita. Dengan shalat yang sempurna kita mengharap bisa mendapatkan nur (cahaya) Allah SWT. Diantara kiat untuk mencapai kesempurnaan shalat adalah dengan mengetahui hakekat shalat itu sendiri.
Bagaimana kita mengetahi hakekat shalat? Hakekat shalat dapat kita capai dengan mengkaji kembali makna shalat itu sendiri dengan sungguh-sungguh. Kiat lain untuk mencapai kesempurnaan shalat adalah dengan menyempurnakan wudhu dan tidak berwudhu dengan asal-asalan. Menyempurnakan wudhu merupakan langkah awal untuk meningkatkan mutu dan kualitas shalat kita. Di bulan suci Ramadhan ini kita berharap dan berdoأ،, semoga Allah SWT memberikan kita hakekat shalat dan kita mampu untuk melaksanakan shalat dengan mutu dan kualitas yang diharapkan oleh Allah SWT.

KEBAHAGIAAN DUNIA AKHERAT 1


Setiap manusia menginginkan kesempurnaan dan kebahagian dalam segala aspek kehidupannya, baik secara lahir maupun secara batin. Secara lahir semua manusia menginginkan kesempurnaan dalam penciptaannya, tidak heran kalau semakin hari semakin banyak kita jumpai berbagai sarana untuk memperbaiki manusia secara lahir seperti alat –alat kecantikan sampai lembaga-lembaga kebugaran lainnya. Secara lahir manusia ingin kaya, mudah dalam segala-galanya serta menolak untuk hidup susah. Demikian juga secara batin, semua manusia menginginkan kebahagiaan batin, mereka menginginkan kedamaian serta ketenangan jiwa dalam mengarungi hidup di dunia ini. Tidak hanya sebatas di dunia, namun semua manusia menginginkan kebahagiaan di dunia ini juga kebahagiaan di akhirat nanti. Keinginan tersebut merupakan hal yang wajar dan manusiawi serta sesuai dengan fithrah diciptakannya manusia. Bahkan Rasulullah SAW selalu membaca doأ، sebagai berikut: Rabbanaa aatinaa fiddunya hasanatan wa fil-aakhirati hasanatan (Ya tuhan kami! Berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat), dalam sebuah hadits disebutkan bahwa doأ، ini merupakan salah satu doأ، yang paling sering dibacakan oleh baginda Rasulllah SAW.
Banyak cara dan methode yang ditempuh oleh manusia untuk menggapai kebahagiaan hidupnya. Dari cara yang diajarkan oleh Allah SWT melalui para utusannya sampai cara yang mereka temukan sendiri. Secara lahir, kita menyaksikan manusia bekerja dengan berbagai pekerjaannya untuk mencapai kebahagiaan duniawi yang mereka inginkan. Secara batin, kita menyaksikan banyak manusia yang berusaha untuk mendapatkan ketenangan batinnya dengan berbagai cara pula. Sebagai seorang muslim yang telah memiliki pegangan dalam menjalani hidup di dunia ini, tentu Allah SWT sudah menyiapkan sarana tersendiri untuk membahagiakan para hambaNya.
Tidak hanya kebahagian di dunia ini, tapi lebih penting lagi adalah untuk mencapai kebahagiaan setelah kehidupan dunia ini, kehidupan yang sebenarnya yang akan dihadapi oleh setiap hambaNya yaitu kehidupan akhirat. Dalam artikel sederhana ini, penulis mengajak kepada diri penulis sendiri dan juga kepada khalayak pembaca untuk bersama-sama berusaha mencari kebahagiaan dunia akhirat melalui ajaran dan tuntunan yang telah diajarkan dalam agama kita (Islam). Beberapa point yang penulis tulis dalam artikel ini mungkin bisa membuat kita bahagia di dunia dan akherat kelak. Penulis katakan beberapa point, karena masih banyak hal-hal lain yang telah diajarkan oleh agama kita dalam rangka menggapai kebahagiaan baik di dunia ini maupun di akherat kelak. Lebih-lebih bulan suci Ramadhan ini merupakan lembaga bagi setiap muslim untuk meningkatkan kualitas iman dan pribadi untuk menuju ketaqwaan sebagaimana yang diharapkan oeh setiap muslim sebagai hasil dari ibadah puasa selama sebulan ini. Beberapa point tersebut adalah sebagai berikut: Memperbaiki keyakinan kita kepada Allah SWT atau memperbaiki iman kita kepada Allah SWT.

Template by:
Free Blog Templates