Dan kehidupan itu mencapai suatu tahap paripurna manakala manusia
memiliki kesamaan rasa, atau manusia "turut merasakan" bersama, bukan
sebaliknya. Manusia mencapai derajat kesempurnaan (insan kamil) tatkala
turut merasakan sensitifitas satu rasa sakit, bukan turut berebut
melampiaskan segala macam hawa nafsu. Dari sini puasa memiliki
multifungsi. Setidaknya ada tiga fungsi puasa: tazhib, ta'dib dan
tadrib. Puasa adalah sarana untuk mengarahkan (tahzib), membentuk
karakteristik jiwa seseorang (ta'dib), serta medium latihan untuk
berupaya menjadi manusia yang kamil dan paripurna (tadrib), yang pada
esensinya bermuara pada tujuan akhir puasa: takwa. Takwa dalam
pengertian yang lebih umum adalah melaksanakan segala perintah Allah dan
meninggalkan segala larangan-Nya. Takwa dan kesalehan sosial adalah dua
wajah dari satu keping mata uang yang sama, mengintegral dan tak dapat
dipisahkan. Ada sejenis kaidah jiwa, bahwasanya "cinta" timbul dari rasa
sakit. Di sinilah letak rahasia besar sosial dari hikmah berpuasa.
Dengan
jelas dan akurat, Islam melarang keras segala bentuk makanan, minuman,
aktivitas seks, penyakit hati dan ucapan merasuki perut dan jiwa orang
yang berpuasa. Dari lapar dan dahaga, betapa kita dapat merasakan mereka
yang berada di garis kemiskinan, manusia papa yang berada di kolong
jembatan, atau kaum tunawisma yang kerap berselimutkan dingin di malam
hari atau terbakar terik matahari di siang hari. Ini adalah suatu
sistem, cara praktis melatih kasih sayang jiwa dan nurani manusia.
Adakah cara yang paling efektif untuk melatih cinta? Bukankah kita tahu
bahwa selalu ada dua sistem yang saling terkait: yang melihat dan yang
buta, yang cendikia dan yang awam, serta yang teratur dan yang
mengejutkan. Jika cinta antara orang kaya yang lapar terhadap orang
miskin yang lapar tercipta, maka untaian hikmah kemanusiaan di dalam
diri menemukan kekuasaannya sebagai "sang mesias", juru selamat. Orang
yang berpunya dan hatinya selalu diasah dengan puasa, maka telinga
jiwanya mendengar suara sang fakir yang merintih. Ia tidak serta merta
mendengar itu sebagai suara mohon pengharapan, melainkan permohonan akan
sesuatu hal yang tidak ada jalan lain untuk disambut, direngkuh dan
direspon akan makna tangisannya itu. Orang berpunya akan memaknai itu
semua atas pengabdian yang tulus, iimaanan wa ihtisaaban. Semua karena
Allah, karena hanya Dia Sang pemilik segalanya. * Dewan Eksekutif
Sanggar Kinanah, sedang menempuh S1 al-Azhar university, jurusan Akidah
dan Filsafat, Kairo. Bibliografi: 1. Al-Quran al-Karim, Departemen
Agama. 2. Musthafa Shadiq al-Rafi'ie, wahy al-Qalam, Jilid II, maktabah
al-Adab, 1936, Kairo. 3.
Muhammad Ali al-Shobuni, Rowa'i al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam,
Selasa, 15 Januari 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar