Mazhab sosialisme yang mengalami masa kolapnya di Eropa, tak mampu
mengubah, menambah dan mengurangi jatah perut pengikutnya. Mereka, para
sosialisme yang dianggap sebagai "mazhab buku" tak pelak lagi memandang
puasa sebagai "satu-satunya sistem sosialis yang paling unik dan justeru
paling benar"! Bagaimana tidak, puasa adalah kefakiran secara 'paksa'
yang ditentukan oleh syariat agama kepada seluruh umat (Islam) tanpa
pandang bulu. Islam memandang sama derajat manusia, terutama soal
"perut". Mereka yang memiliki dolar, atau yang mempunyai sedikit rupiah,
atau orang yang tak memiliki sepeserpun, tetap merasakan hal yang sama:
lapar dan haus. Jika sholat mampu menghapus citra arogansi individual
manusia diwajibkan bagi insan muslim, haji dapat mengikis perbedaan
status sosial dan derajat umat manusia diwajibkan bagi yang mampu, maka
puasa adalah kefakiran total insan bertakwa yang bertujuan mengetuk
sensitifitas manusia dengan metode amaliah (praktis), bahwasanya
kehidupan yang benar berada di balik kehidupan itu sendiri. Dan
kehidupan itu mencapai suatu tahap paripurna manakala manusia memiliki
kesamaan rasa, atau manusia "turut merasakan" bersama, bukan sebaliknya.
Manusia mencapai derajat kesempurnaan (insan kamil) tatkala turut
merasakan sensitifitas satu rasa sakit, bukan turut berebut melampiaskan
segala macam hawa nafsu. Dari sini puasa memiliki multifungsi.
Setidaknya
ada tiga fungsi puasa: tazhib, ta'dib dan tadrib. Puasa adalah sarana
untuk mengarahkan (tahzib), membentuk karakteristik jiwa (ta'dib), serta
medium latihan untuk berupaya menjadi manusia yang kamil dan paripurna
(tadrib), yang pada esensinya bermuara pada tujuan akhir puasa: takwa.
Takwa dalam pengertian yang lebih umum adalah melaksanakan segala
perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya. Takwa dan kesalehan
sosial adalah dua wajah dari satu keping mata uang yang sama,
mengintegral dan tak dapat dipisahkan.
Ada sejenis kaidah
jiwa, bahwasanya "cinta" timbul dari rasa sakit. Di sinilah letak
rahasia besar sosial dari hikmah berpuasa. Dengan jelas dan akurat,
Islam melarang keras segala bentuk makanan, minuman, aktivitas seks,
penyakit hati dan ucapan merasuki perut dan jiwa orang yang berpuasa.
Dari lapar dan dahaga, betapa kita dapat merasakan mereka yang berada di
garis kemiskinan, manusia papa yang berada di kolong jembatan, atau
kaum tunawisma yang kerap berselimutkan dingin di malam hari atau
terbakar terik matahari di siang hari. Ini adalah suatu sistem, cara
praktis melatih kasih sayang jiwa dan nurani manusia.
Adakah
cara yang paling efektif untuk melatih cinta? Bukankah kita tahu bahwa
selalu ada dua sistem yang saling terkait: yang melihat dan yang buta,
yang cendikia dan yang awam, serta yang teratur dan yang mengejutkan.
Jika cinta antara orang kaya yang lapar terhadap orang miskin yang lapar
tercipta, maka untaian hikmah kemanusiaan di dalam diri menemukan
kekuasaannya sebagai "sang mesias", juru selamat. Orang yang berpunya
dan hatinya selalu diasah dengan puasa, maka telinga jiwanya mendengar
suara sang fakir yang merintih. Ia tidak serta merta mendengar itu
sebagai suara mohon pengharapan, melainkan permohonan akan sesuatu hal
yang tidak ada jalan lain untuk disambut, direngkuh dan direspon akan
makna tangisannya itu. Orang berpunya akan memaknai itu semua atas
pengabdian yang tulus, iimaanan wa ihtisaaban. Semua karena Allah,
karena hanya Dia Sang pemilik segala.
0 comments:
Posting Komentar