Perkawinan dalam Islam adalah suatu ikatan yang kuat dan
perjanjian yang teguh yang ditegakkan di atas landasan niat
untuk bergaul antara suami-isteri dengan abadi, supaya dapat
memetik buah kejiwaan yang telah digariskan Allah dalam
al-Quran, yaitu ketenteraman, kecintaan dan kasih sayang.
Sedang tujuannya yang bersifat duniawi yaitu demi
berkembangnya keturunan dan kelangsungan jenis manusia.
Seperti yang diterangkan Allah dalam al-Quran:
"Allah telah menjadikan jodoh untuk kamu dari
jenismu sendiri, dan Ia menjadikan untuk kamu dari
perjodohanmu itu anak-anak dan cucu." (an-Nahl: 72)
Adapun kawin mut'ah adalah ikatan seorang laki-laki
dengan seorang perempuan dalam batas waktu tertentu dengan
upah tertentu pula. Oleh karena itu tidak mungkin perkawinan
semacam ini dapat menghasilkan arti yang kami sebutkan di
atas.
Kawin mut'ah ini pernah diperkenankan oleh Rasulullah
s.a.w. sebelum stabilnya syariah Islamiah, yaitu
diperkenankannya ketika dalam bepergian dan peperangan,
kemudian diharamkannya untuk selama-lamanya.
Rahasia dibolehkannya kawin mut'ah waktu itu, ialah
karena masyarakat Islam waktu itu masih dalam suatu
perjalanan yang kita istilahkan dengan masa transisi, masa
peralihan dari jahiliah kepada Islam. Sedang perzinaan di
masa jahiliah merupakan satu hal yang biasa dan tersebar di
mana-mana. Maka setelah Islam datang dan menyerukan kepada
pengikutnya untuk pergi berperang, dan jauhnya mereka dari
isteri merupakan suatu penderitaan yang cukup berat.
Sebagian mereka ada yang imannya kuat dan ada pula yang
lemah. Yang imannya lemah, akan mudah untuk berbuat zina
sebagai suatu perbuatan yang keji dan cara yang tidak
baik.
Sedang bagi mereka yang kuat imannya berkeinginan untuk
kebiri dan mengimpotenkan kemaluannya, seperti apa yang
dikatakan oleh Ibnu Mas'ud:
"Kami pernah berperang bersama Rasulullah s.a.w.
sedang isteri-isteri kami tidak turut serta bersama kami,
kemudian kami bertanya kepada Rasulullah, apakah boleh
kami berkebiri? Maka Rasulullah s.a.w. melarang kami
berbuat demikian dan memberikan rukhshah supaya kami
kawin dengan perempuan dengan maskawin baju untuk satu
waktu tertentu." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dengan demikian, maka dibolehkannya kawin mut'ah adalah
sebagai suatu jalan untuk mengatasi problema yang dihadapi
oleh kedua golongan tersebut dan merupakan jenjang menuju
diundangkannya hukum perkawinan yang sempurna, di mana
dengan hukum tersebut akan tercapailah seluruh tujuan
perkawinan seperti: terpeliharanya diri, ketenangan jiwa,
berlangsungnya keturunan, kecintaan, kasih-sayang dan
luasnya daerah pergaulan kekeluargaan karena perkawinan
itu.
Sebagaimana al-Quran telah mengharamkan arak dan riba
dengan bertahap, di mana kedua hal tersebut telah terbiasa
dan tersebar luas di zaman jahiliah, maka begitu juga halnya
dalam masalah haramnya kemaluan, Rasulullah tempuh dengan
jalan bertahap juga. Misalnya tentang mut'ah, dibolehkannya
ketika terpaksa, setelah itu diharamkannya.
Seperti apa yang diriwayatkan oleh Ali dan beberapa
sahabat yang lain, antara lain sebagai berikut:
"Dari Saburah al-Juhani, sesungguhnya ia pernah
berperang bersama Nabi s.a.w. dalam peperangan fat-hu
Makkah, kemudian Nabi memberikan izin kepada mereka untuk
kawin mut'ah. Katanya: Kemudian ia (Saburah) tidak pernah
keluar sehingga Rasulullah s.a.w. mengharamkan kawin
mut'ah itu." (Riwayat Muslim)
Dalam satu riwayat dikatakan:
"Sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai
hari kiamat." (Riwayat Muslim)
Tetapi apakah haramnya mut'ah ini berlaku untuk
selama-lamanya seperti halnya kawin dengan ibu dan anak,
ataukah seperti haramnya bangkai, darah dan babi yang
dibolehkan ketika dalam keadaan terpaksa dan takut berbuat
dosa?
Menurut pendapat kebanyakan sahabat, bahwa haramnya
mut'ah itu berlaku selama-lamanya, tidak ada sedikitpun
rukhshah, sesudah hukum tersebut diundangkan.
Tetapi Ibnu Abbas berpendapat lain, ia berpendapat boleh
ketika terpaksa, yaitu seperti tersebut di bawah ini:
"Ada seorang yang bertanya kepadanya tentang
kawin mut'ah, kemudian dia membolehkannya. Lantas seorang
bekas hambanya bertanya: Apakah yang demikian itu dalam
keadaan terpaksa dan karena sedikitnya jumlah wanita atau
yang seperti itu? Ibnu Abbas menjawab: Ya!" (Riwayat
Bukhari)
Kemudian setelah Ibnu Abbas menyaksikan sendiri, bahwa
banyak orang-orang yang mempermudah persoalan ini dan tidak
membatasi dalam situasi yang terpaksa, maka ia hentikan
fatwanya itu dan ditarik kembali.